Mohon tunggu...
Money

Bagaimana Etika Konsumen Muslim?

28 Februari 2019   11:16 Diperbarui: 28 Februari 2019   11:15 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam sebuah kehidupan, kita sebagai manusia tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban material dan ruhani jika kebutuhan primer seperti tempat tinggal, makan, minum, atau keamanan tidak terpenuhi. Ada beberapa orang yang israf atau sangat berlebih lebihan dalam mencukupi kebutuhanya sehingga timbul tindakan tindakan ekstrim dalam mengakses kebutuhan tanpa memikirkan halal ataupun haram. 

Didalam islam, dalam memenuhi kebutuhan seperti minum, makan, dan lainya harus berdasarkan koridor islam. Seperti yang terdapat dalam hadist sebagai berikut:

Artinya : Dari Zakaria bin Abi Zaidah dari al-Sya'bi berkata: saya mendengar Nu'man bin basyir berkata diatas mimbar dan ia mengarahkan jarinya pada telinganya, saya mendengar Rosulullah SAW bersabda:" halal itu jelas, haram itu juga jelas, diantara keduanya itu subhat, kebanyakan manusia tidak mengetahui, maka barang siapa menjaga diri dari barang subhat,maka ia telah bebas untuk agama dan kehormatanya, barang siapa yang terjerumus dalam subhat maka ia seperti penggembala disekitar tanah yang dilarang yang dikhawatirkan terjerumus, ingatlah, sesungguhnya bagi setiap pemimpin daerah larangan. Larangan Allah adalah hal yang yang diharamkan oleh Allah, ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati" (HR. Muttafaqun Alaih). 

Rozalinda (2017 : 97) Dalam ekonomi islam, kepuasan dikenal dengan maslahah dengan pengertian terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik atau spiritual.

 Islam sangat mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan nonfisik yang didasarkan atas nilai nilai syariah. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal, baik secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersikap israf (royal) dan tabzir (sia-sia). 

Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari nilai konsumsinya.

M. Nur Rianto Al Arif (2015 : 188) Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut dengan israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yaitu menuju tujuan tujuan yang terlarang, seperti penyuapan, hal hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti pengunaan harta secara berlebih lebihan untuk hal hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau sedekah. Ajaran-ajaran islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yaitu pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan.

M. Nur Rianto Al Arif (2015 : 198) Menurut Metwally (1993), alasan perilaku konsumen harus dimodifikasi dalam kaitanya sebagai seorang konsumen muslim, yaitu sebagai berikut:

  • Fungsi objektif konsumen muslim berbeda dengan konsumen yang lain, konsumen muslim tidak mencapai kepuasan hanya dari mengonsumsi output dan memegang barang modal saja. Perilaku ekonominya berputar pada pencapaian atas ridha Allah SWT. Seorang muslim sejati harus percaya pada Al-Quran sehingga kepuasan bukan merupakan fungsi satu-satunya atas barang konsumsi dan komoditas, melainkan juga fungsi dari ridha Allah SWT. Dengan memodifikasi fungsi kepuasan, didapat untuk konsumen muslim
  • Vektor komoditas dari konsumen muslim adalah berbeda dari konsumen non-Muslim meskipun semua elemen dari barang dan jasa tersedia. Karena islam melarang seorang muslim mengonsumsi beberapa komoditas, seperti alcohol, daging babi, dan lain lain. Jadi, jika konsumen non-Muslim bisa mengalokasikan anggaranya pada barang X, X,...Xn;seorang muslim hanya bisa mengalokasikan anggaranya pada X, X,..., Xk. Dimana k < n. (n-k) menggambarkan barang dan jasa yang dilarang sehingga harus dikenalkan modifikasi yang lain dari fungsi kepuasan konfensional yang sesuai dengan syariah islam.
  • Karena seorang muslim dilarang membayar atau menerima bunga dari pinjaman dari bentuk apapun, premi yang rutin dibayar oleh konsumen muslim atas memegang barang tahan lama tidak mencakup elemen suku bunga. Suku bunga dalam ekonomi islam digantikan oleh biaya dengan kaitanya dengan provit sharing. Bagaimanapun tidak seperti bunga, biaya ini tidak ditentukan sebelumnya pada tingkat yang tetap atas sebuah resiko. Jadi, keterbatasan anggaran dari seorang konsumen muslim adalah:
  • Bagi seorang konsumen muslim, anggaran yang digunakan untuk optimisasi konsumsi adalah pendapatan bersih setelah pembayaran zakat. Jika diasumsikan tingkat zakat setara dengan a batasan anggaran konsumen muslim
  • Konsumen muslim harus menahan diri dari konsumsi yang berlebihan, yang berarti konsumen muslim tidak harus menghabiskan seluruh pendapatan bersihnya untukkonsumsi barang dan jasa.

Rozalinda (2017 : 108) Nilai nilai islam yang harus diaplikasi dalam konsumsi adalah:

  • Seimbang dalam konsumsi, islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan diri, keluarga, dan fisabilillah. Islam mengharamkan sifat kikir. Disisi lain islam juga melarang sikap boros dan menghamburkan harta. Inilah bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Quran yang mencerminkan sikap keadilan dalam konsumsi.
  • Membelanjakan harta dalam bentuk yang dihalalkan dan dengan cara yang baik. Islam mendorong dan member kebeban kepada individu untuk membelanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baikdan halal dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuan tidak melanggar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat dan negara. Senada dengan hal ini Abu al-A'la al-mahdudi menjelaskan, islam menutup semua jalan bagi manusia untuk membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak ditengah masyarakat, seperti judi yang memperturutkan hawa nafsu. Dalam QS Al-Maidah [5]: 88 ditegaskan:
  • "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."
  • Larangan bersifat israf dan tabzir. Adapun nilai nilai ahlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah pelarangan terhadap sikap hidup mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan masyarakat, karena menyibukkan manusia dengan hawa nafsu, melalaikanya dalam hal hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Disamping itu, membunuh semangat jihad. Ali Abd ar-Rasul menilai bahwa gaya hidup mewah merupakan factor yang memicu terjadinya dekadensi moral masyarakat yang akhirnya membawa pada kehancuran.

Pusat Pengajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (2008 : 129) Maslahah terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan konsumsinya. konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. 

Disisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia menkonsumsi barang atau jasa yang dihalalkan oleh syariat islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemuadian dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang telah dikonsumsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun