Mohon tunggu...
el hadiqoh
el hadiqoh Mohon Tunggu... -

Pendiri Yayasan EL-Hadiqoh Madani Jl.H.Ridi no 90 Kota Depok, Jawabarat

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK, PKS dan Politik Devide Et Impera

15 Mei 2013   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:31 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KPK, PKS DAN POLITIK DEVIDE ET IMPERA
Oleh: Abu Fatih Ar-Rantisi

PKS boleh kalah telak dan babak belur dihantam pemberitaan media. Tapi di lapangan, faktanya bicara lain. Tetap saja kepercayaan kepada orang tak mudah lekang. Di tengah tendensi miring akibat propaganda sejumlah media, memang tak sedikit orang yang terhasut untuk menghakimi dan memvonis PKS. Namun ternyata masih lebih banyak lagi yang tetap percaya dan menaruh simpati pada partai Islam terbesar di tanah air ini.

Sebabnya sederhana. Mereka terpesona dan jatuh cinta pada perangai teman kerja mereka, tetangga mereka atau kerabat keluarga mereka yang ternyata terbina di PKS. Mereka tahu bahwa di kantornya, yang dikenal idealis, betul-betul bersikap bersih dan jujur ya “orang-orang PKS”. Yang menolak duit yang bukan haknya, yang syubhat apalagi haram, ya “orang PKS”. Yang di sela waktu senggangnya tak lupa membaca Qu’ran mungilnya. Yang di tengah kesibukan, menyempatkan diri melazimkan dhuha. Yang selalu teguh menjaga shalat jamaahnya, dari subuh sampai ke isya. Meski yang demikian bukan cuma “orang PKS” saja, namun dalam benak banyak orang, yang tipikalnya begituan ya “orang PKS”.

Dalam beberapa diskusi, sejumlah teman –yang jelas-jelas bukan kader PKS- mengatakan, “Di kantorku itu, yang jelas kelihatan orang baik dan bersih itu ya kader PKS. Sepeser pun mereka nggak mau terima ‘uang nggak jelas’. Makanya nggak mungkinlah guru mereka begitu. ” Yang lain mengatakan, “Ah, belum tentu PKS yang salah, dari awal aja udah banyak kejanggalan.” Seorang yang lain menimpali, “Iya, kalau giliran LHI, cepat KPK menahan walaupun bukan tertangkap tangan, sementara Andi sama Anas udah sama-sama tersangka masih melenggang bebas. Century malah nggak selesai-selesai. Entah sudah berapa tahun.”

Begitulah pendapat rakyat awam yang jauh dari hingar-bingar keriuhan politik. Rupanya kebanyakan teman juga tak serta merta “mengimani” ayat-ayat TV One, Metro TV atau Majalah Tempo. Mayoritas mereka juga tak mengamini komentar sebagian pengamat politik yang mengatakan pamor PKS akan lekas runtuh dan terjun bebas. Mereka malah secara arif dan bijak mengatakan, “Belum tentu PKS jatuh. Kalau nanti LHI terbukti nggak bersalah, semakin mantaplah citra PKS. Tapi memang kalau terbukti, secara citra, habislah PKS.”

Makanya dari bincang-bincang awam itu, saya dan teman-teman bersepakat bahwa proses hukum harus berjalan. KPK menyita, menahan atau melakukan tindakan hukum apapun, haruslah kita dukung. Apalagi PKS sudah menyambut kedatangan tim penyidik KPK, lengkap dengan spanduk selamat datang. Syaratnya sederhana: datanglah sesuai hukum dan akhlak mulia. Bawa kartu identitas dan surat perintah penyitaan. Setelah itu tak ada lagi yang perlu diperdebatkan.

Akan tetapi, semua ini terkesan begitu besar. PKS dihasut untuk “dikesankan” memusuhi KPK. Tim KPK pun dihasut untuk “dikesankan” mengobok-obok partai dakwah itu. Judul berita di televisi, koran dan media online kian lebay. KPK Versus PKS. PKS Melawan KPK. Konflik KPK dan PKS. Padahal, kalaupun ada, yang bersitegang adalah DPP PKS dengan oknum KPK, dalam hal ini Juru Bicaranya, Johan Budi yang bukan sarjana hukum, mantan jurnalis Tempo, yang dianggap kerap berbohong dalam statement-statementnya untuk mencemarkan nama baik PKS.

Dari awal juga, PKS tak punya niat melindungi atau membela mati-matian LHI. Kader-kader PKS dilarang bicara mengenai kasus LHI, kecuali yang resmi diungkapkan oleh tim kuasa hukum LHI sendiri. Jadi, wajar saya kira ketika Fahri Hamzah, Wasekjen PKS yang aktivis reformasi ’98 dan pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) itu mengatakan bahwa PKS harus melawan totalitarianisme ketika KPK melakukan “festivalisasi pemberantasan korupsi”.

Apalagi melihat media mati-matian mengekor pernyataan Johan Budi. Lalu muncullah stigma PKS melemahkan KPK. PKS melakukan kriminalisasi kepada KPK. Sampai Tempo bela-belain membuat survey partai apa yang “dianggap” terkorup. Dan tebak hasilnya, bersama Demokrat, PKS menjadi juara. Bukankah sangat aneh, predikat terkorup berdasarkan “anggapan publik” yang sesungguhnya anggapan publik itu mereka kontruksi melalui penggiringan opini dalam berita-beritanya? Padahal faktanya, kader PKS sampai hari ini belum ada yang diputuskan bersalah menjadi terpidana korupsi. Sementara juara asli kompetisi korupsi, Partai Golkar berdasarkan survey malah dianggap relatif bersih dan elektabilitasnya meningkat. Pembodohan macam apa ini?

Teman saya yang sudah menonton film dokumenter “Di Balik Frekuensi” menyatakan maklum saja kalau media kita begitu. Karena telah terjadi oligarki pada pilar keempat demokrasi ini. Di tv merah, tak dikenal istilah lumpur Lapindo, yang ada hanya lumpur Sidoarjo. Sementara di tv biru, bicara kebebasan bersuara hanya ada pada iklan-iklan suci restorasi. Masing-masingnya punya jagoan masing-masing. “Kalau Tempo, entah sudah berapa edisi lagi yang disiapkan untuk tema khusus membahas PKS,” ujarnya suatu kali.

Makanya, KPK harus bekerja lebih cepat, putuskan segera status LHI itu. Memang maling atau bukan. Kalau kasus ini diulur-ulur, terus terang kita harus maklum kalau ada yang menyebut kasus ini penuh dengan nuansa politis. Apalagi kalau baru dikhatamkan pasca Pemilu 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun