Astuti berjalan wira-wiri di ruang tamu sempit berukuran dua kali dua meter itu. Sesekali pendangannya tertuju ke luar jendela. Berharap melihat sosok Ryan suaminya, segera pulang.
"As, bagaimana kondisimu?" seorang perempuan usia tiga puluhan tergopoh menghampiri.
"Durasi kontraksinya semakin pendek, Mbak Yun..."
"Itu pertanda bayimu akan segera lahir. Kita berangkat ke rumah Bidan Sri sekarang, ya? Tidak usah menunggu suamimu pulang. Ryan bisa menyusul nanti."
Astuti terdiam. Pikirannya mengembara kemana-mana.
"Kalau kau nekat menikahi Astuti, Mama mempersilakanmu pergi meninggalkan rumah sekarang juga!" terngiang suara tegas Ibu mertuanya, beberapa bulan lalu. Dan, terbayang pula wajah Ryan kala itu. Laki-laki itu menatapnya tegar sepenuh cinta.
"Saya memilih pergi, Ma. Saya mencintai Astuti." Ryan meraih pundak Astuti. Membenamkan tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya.Â
Hari itu juga Ryan membawanya meninggalkan rumah mewah di pinggiran kota itu. Demi mewujudkan cintanya yang tulus pada dirinya yang hanya---seorang gadis pemulung.
"As..." suara Mbak Yun membuyarkan lamunannya. Astuti berdiri, limbung. Ia menyandarkan punggung pada dinding ruang tamu.
"Mbak Yun, uang tabunganku habis untuk bayar kontrakan. Gaji Mas Ryan sebagai penjaga gudang juga belum turun."
"Kau bisa pakai uangku dulu. Jangan pikirkan apa-apa lagi, ayolah! Tuh, sudah ada bercak darah menempel di dastermu!"