Sekedipan mata sosok itu kemudian menghilang. Diikuti kursi putar yang perlahan berhenti bergerak.
Saya menarik napas panjang sembari memberanikan diri berjalan ke arah dua jendela yang selama ini tidak pernah dibuka.
Saya segera menarik engsel jendela-jendela itu. Lalu menguak daunnya lebar-lebar.Â
Semilir angin dari kebun yang terletak tepat di samping ruang praktik, seketika leluasa masuk. Berembus sejuk.
Saya merasa sedikit lebih tenang sekarang.
Tapi mendadak saya dikejutkan lagi oleh sesuatu. Suara kran air yang mengucur deras berasal dari kamar mandi khusus untuk dokter.
Duh, apakah kemarin dokter lupa mematikan kran usai dari kamar mandi? Saya kira tidak. Dokter adalah orang paling teliti yang pernah saya temui seumur hidup saya.
Jadi, bunyi kran air itu?
Saya harus segera mematikannya! Kalau tidak saya bisa ditegur keras oleh dokter.
Kran air sudah beres. Saya kembali berjalan ke ruang praktik. Tapi---lagi-lagi saat melewati lemari tua tempat obat-obatan disimpan, dada saya berdesir. Kok mendadak tercium aroma wangi bunga melati, ya?
Ah, sudahlah. Saya harus mengabaikan semuanya. Sebab saya sudah mendengar Mbak-mbak di apotek berseru lantang, memanggil-manggil saya.
"Suster! Dokter datang!"
***
Malang, 16 Oktober 2020
Lilik Fatimah Azzahra