Januari.Â
Kupikir, kau dilahirkan oleh ibumu di bulan Januari, tanggal satu. Maka, ketika terompet kertas dibunyikan oleh sekawanan bocah yang berlarian di taman kota, aku segera membuatkanmu kue tart bertabur keju. Kuselipkan satu pesan manis di atas fondant yang telah kupipihkan; Selamat ulang tahun, sayang. Jangan lupa untuk selalu mencintaiku.
Tapi, kiranya aku keliru. Hingga petang datang kue tart berbentuk hati tetap utuh tak kausentuh.
Februari.Â
Hari keempat belas. Aku mencium aroma wangi bunga sepatu. Kukira inilah saat terbaik ibumu melahirkanmu(kala itu). Maka dengan sukacita aku berlari menuju dapur. Membuatkanmu nasi tumpeng berhiaskan rangkaian janur. Tak lupa kuselipkan ucapan bahagia. Selamat merayakan bertambahnya usia, ya. Semoga hatimu tertuju hanya kepadaku saja.
Namun, hingga nasi tumpeng di atas meja kering dan mendingin, engkau tetap berdiri geming. Menatap ke luar jendela tanpa berucap sepatah kata.Â
Dan, masih tersisa sepuluh bulan pada almanak berikutnya. Apakah kau tetap tak ingin mengatakan apa-apa? Tentang kapan pertama kali malaikat mengajakmu melihat isi dunia.
Baiklah. Jikalau kau tak suka hari lahirmu dirayakan, kali ini aku memilih diam. Biarlah senyum dan mataku saja yang bicara. Betapa aku, kepadamu selalu cinta.
***
Malang, 25 April 2020
Lilik Fatimah Azzahra