Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki yang Meminjam Mimpi

7 Desember 2019   04:01 Diperbarui: 7 Desember 2019   04:18 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap malam sekitar pukul sembilan, laki-laki itu selalu datang dan duduk membaur di antara anak-anak jalanan yang menggelar koran di emperan sebuah toko yang sudah tutup. Ia akan menghabiskan waktunya semalaman di sana. Mengobrol panjang lebar. Lalu, sebelum ikut tidur melingkar bersama mereka, laki-laki itu menyalakan sebatang rokok, mengembuskannya perlahan hingga membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Dan ia akan berseru lantang setiap kali melihat lingkaran-lingkaran kecil itu jatuh di atas kepala salah seorang bocah. "Malam ini giliran mimpimu yang akan aku pinjam!"

Nama laki-laki itu Darwis. Usianya sekitar empat puluh tahun. Hanya itu yang ia katakan tentang dirinya saat pertama kali muncul. Ia tidak mengatakan hal-hal lain seperti; di mana tempat tinggalnya atau apa pekerjaannya. Juga statusnya. Apakah ia sudah menikah atau belum.

Dan anak-anak jalanan itu sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka cukup senang Om Darwis---begitu mereka memanggil, ada bersama mereka. Duduk meluangkan waktu dan mengobrol.

Om Darwis sendiri, datang tidak sekadar mengajak berbincang-bincang. Acapkali laki-laki itu mengajari mereka berbagai hal. Semisal---Wanto, bocah berusia dua belas tahun itu diajarinya cara menyanyi dan bermain gitar yang baik.

"Meskipun kamu memilih hidup sebagai seorang pengamen, kamu harus tetap bersikap profesional. Tidak asal teriak-teriak dan memetic gitar gonjrang-ganjreng. Hargai telinga orang-orang yang telah berbaik hati memberimu uang. Sekalipun ala kadarnya," begitu Om Darwis menasihati Wanto. Dan entah mengapa Wanto menurut.

Sedang terhadap Sadino, pemuda usia empat belas tahun yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato, Om Darwis rajin mengajarinya baca tulis. Apalagi Sadino bilang bahwa dirinya sejak kecil tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Ia tidak memiliki kesempatan untuk belajar. Sehari-hari mulai pagi hingga petang ia menghabiskan waktunya di pasar, membantu ibunya berjualan. 

"Ayahku pergi meninggalkan Ibu saat usiaku masih bayi," Sadino pernah menceritakan perihal kehidupannya yang pahit itu. Dan Om Darwis mendengarkan dengan penuh perhatian.

Sekarang Sadino sudah mulai lancar membaca dan menulis. Bahkan ia sudah bisa menuliskan daftar barang-barang apa saja yang dibutuhkan untuk melengkapi dagangan ibunya.

Akan halnya terhadap Adam, bocah berkulit putih yang baru lulus SMP itu---yang secara malu-malu mengakui nekat kabur dari rumah gara-gara tidak tahan melihat kedua orangtuanya bertengkar setiap hari, Om Darwis juga tidak segan memberi nasihat. Agar ia tetap menyayangi kedua orangtuanya, apa pun yang terjadi.

"Jangan lupa mendoakan mereka. Kamu seorang muslim, bukan? Di setiap usai sholat, mintalah kepada Tuhan agar kedua orangtuamu rukun kembali."

Nasihat itu membuat Adam terdiam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun