Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] | "Happy Birthday, Tari!"

13 Oktober 2019   05:13 Diperbarui: 13 Oktober 2019   05:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu matahari bersinar sangat terik. Bel sekolah baru saja berbunyi. Anak-anak berhambur keluar kelas bagai sekawanan tawon. Berebut saling mendahului. Wajah-wajah mereka terlihat amat lelah.

Tari berjalan sendirian sambil menunduk. Wajahnya yang manis nampak murung. Hatinya sedang galau. Hari ini adalah tanggal kelahirannya. Tapi sepertinya tidak seorang pun yang mengingatnya.

Tidak juga Mama dan Papanya.

Tari menelan ludah. Teringat hubungan kedua orangtuanya yang mulai tidak harmonis. Tadi pagi Mama dan Papanya masih juga beradu mulut. Masalahnya tetap sama. Mama menginginkan Tari masuk SMK jurusan keperawatan setelah lulus SMP nanti. Sedang Papa menginginkan Tari masuk SMA agar kelak bisa menjadi seorang Polwan.

"Anak Mama yang manis, harus masuk SMK jurusan perawat," Mama menatap Tari penuh harap.

"Tidak! Tari harus masuk SMA. Papa ingin melihat Tari menjadi Polwan!" Papa menatap tegas ke arah Tari.

"Menjadi perawat itu pekerjaan mulia. Banyak menolong orang sakit. Betul, kan, Tari?" Mama minta dukungan. Tari mengangguk.

"Polwan juga pekerjaan mulia. Mengamankan negara bukankah lebih utama? Ya, kan Tari?" Papa juga minta dukungan. Tari kembali mengangguk.

"Pokoknya Tari harus masuk SMK dan menjadi perawat!" suara Mama mulai meninggi.

 "Tidak! Tari harus jadi Polwan!" suara Papa tak kalah tingginya. Tari yang pagi itu sedang sarapan menutup kedua telinganya. Lalu diam-diam ia berlalu meninggalkan ruang makan dan bergegas berangkat ke sekolah.

Tuuingg!

Aku muncul di hadapan Tari yang berjalan sembari melamun. Ia tidak melihatku. Kepalanya masih tertunduk. Sedang kakinya asyik menyepak kerikil-kerikil yang berserakan menggunakan ujung sepatunya.

Aku menghadangnya. Dan, bruk! Tubuh mungil itu menabrakku.

"Eh, aduh, maaf, ya..." Tari menatapku lekat-lekat dengan wajah memerah.

"Nggak apa-apa. Baru pulang sekolah, ya?" tegurku seramah mungkin. Tari mengangguk gugup.

"Benar kamu nggak apa-apa?" ia kembali bertanya.

"Suer," aku mengulurkan tangan. "Namaku Dimas." 

Ragu-ragu Tari menjabat tanganku. "Aku Tari," buru-buru ia menarik tangannya kembali.

"Kamu berjalan sambil melamun. Pasti sedang ada masalah, ya?" aku bertanya hati-hati. Tari menghentikan langkah.

"Kamu ini sebenarnya siapa?" ia mulai menatapku curiga.

"Aku seorang penyihir."

Mendengar kata-kataku itu, Tari mundur beberapa langkah. Wajahnya yang manis berubah pucat.

"Aduh, sudah segawat inikah stres yang kualami? Sampai-sampai aku berkhayal bertemu dengan seorang penyihir," Tari menepuk keningnya berkali-kali.

"Kamu tidak sedang berkhayal, Tari. Aku memang seorang penyihir. Ini nyata," aku berusaha meyakinkan dia.

"Ya, ampun! Aku memang benar-benar sudah gila!" Tari mempercepat langkahnya. Meninggalkan aku tanpa menoleh lagi.

***

Aku membuntuti Tari hingga sampai di rumahnya yang teduh. Seorang wanita usia empat puluhan menyambut kedatangannya di ambang pintu.

"Ini dia! Calon perawat Mama yang manis. Makan dulu, ya. Mama sudah menyiapkan ikan segar kesukaanmu," wanita itu tersenyum lebar.

"Wah, calon Polwan Papa yang cantik sudah pulang. Bagaimana sekolahnya hari ini? Setelah makan kita jalan-jalan ke Mall, ya. Kebetulan Papa ambil cuti," seorang laki-laki menerobos keluar dari ruang dalam dan menyongsong kepulangan Tari.

"Biarkan Nona perawatku makan dulu," Mama Tari menyenggol perut buncit suaminya.

"Kalau Tari mau, kita bisa makan di luar," laki-laki itu menarik mundur tubuh istrinya.

"Calon perawat tidak boleh makan sembarangan. Harus menjaga kesehatan," wanita itu balas menarik suaminya.

"Aku akan ajak Tari makan di tempat terbaik dan terjamin kebersihannya," laki-laki itu melotot ke arah istrinya.

"Jangan biasakan makan di luar! Itu pemborosan!" sang istri mulai tersinggung.

" Sekali-sekali menyenangkan anak sendiri kenapa? Kamu saja yang pelit!" sang suami mulai naik pitam.

"Apa katamu? Aku pelit? Bukannya kamu yang pelit? Mana pernah kamu mengajak aku makan di luar? "

"Dasar ibu-ibu pikun! Minggu lalu aku sudah mentraktir kamu di resto seberang jalan itu. Ingat-ingat, dong!"

"Apa katamu? Tadi kamu bilang aku pelit! Sekarang kamu katakana aku ibu-ibu pikun! Lalu kamu sendiri apa?"

"Sudah! Hentikan!" pekik Tari kesal. Ia menatap tajam ke arah Papa dan Mamanya bergantian. Wajahnya memerah menahan tangis. Lalu berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. 

Aku yang sejak tadi berdiri termangu di teras rumah mulai paham. Mengapa Tari tumbuh menjadi gadis pemurung begitu.

"NOSTALGIUS!"   

Setengah bergumam aku menyihir pikiran kedua suami istri itu untuk kembali ke masa muda mereka.

"Mas Haryono, panjenengan mau minum apa?" tiba-tiba wanita itu menoleh dan menatap suaminya sembari tersenyum.

"Oh, Dik Puji, tidak usah repot-repot. Air putih saja juga boleh," laki-laki itu membalas senyum istrinya. "Bagaimana Dik Puji, ujian perawatnya lulus?" 

"Belum lulus Mas. Gugur di tinggi badan. Cuma kurang beberapa senti," wanita itu tertunduk malu-malu.

"Nggak apa-apa, Dik. Masih ada jurusan lain yang bisa diambil," laki-laki itu memberi semangat seraya melingkarkan tangan pada pundak istrinya.

"Sebenarnya aku kurang berminat masuk perawat, Mas. Tapi orang tuaku memaksa."

"Sama Dik, aku juga kurang minat masuk Militer, tapi Bapakku ingin agar aku mendaftar. Yah, jadinya aku tidak bisa lolos."

"Wah, kita sama-sama korban obsesi orangtua ya, Mas. Kelak kalau kita punya anak jangan sampai seperti itu. Biarkan anak-anak kita menentukan sendiri pilihan hidupnya," wanita itu menatap lembut sang lelaki.

"Iya, Dik. Kasihan anak-anak kita. Mereka bisa mengalami stres."

Nah, tepat di  obrolan yang terakhir ini, Tari keluar dari kamarnya bermaksud menemui kedua orangtuanya. Ia terkejut melihat Papa dan Mamanya duduk berdampingan dengan akur.

Aku melongokkan wajah di ambang pintu. Dan Tari melihatku. 

Tapi sebelum gadis remaja itu menghampiriku untuk mengucapkan sesuatu, aku sudah menghilangkan diri.

Cliing!

Sebuah kertas melayang jatuh di dekat kaki Tari.

Aku sudah memberimu kado terindah, ya, Tari. Happy Birthday!

***

Malang, 13 oktober 2019

Lilik Fatimah Azzahra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun