Seorang perempuan tersenyum menatap awan. Pagi ini-- lagi, sepucuk surat telah usai ditulisnya. Surat berwarna merah jambu. Lambang hati yang meruam dilanun rindu.
Seorang perempuan. Masih tersenyum menatap awan. Dilipatnya surat di tangan. Hati-hati. Kemudian diikatkannya pada kaki seekor burung merpati.
Ini suratku yang kesekian. Semoga selamat sampai ke tujuan. Dan terbaca oleh kekasihku. Yang padanya kutitipkan cinta dan harapanku.
Merpati jantan mengepakkan kedua sayap. Siap melaksanakan tugas yang diamanatkan. Terbang menuju arah selatan. Mengarungi angkasa, melintasi gunung dan luas lautan.
Namun di tengah perjalanan, sekawanan elang datang menghadang. Menyerang merpati secara membabi buta. Tanpa iba tanpa belas kasihan.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimiliki. Merpati berusaha menyelamatkan diri. Mempertahankan surat yang masih terikat di kaki. Hingga sampai di ujung perbatasan. Di mana seorang lelaki menyambutnya tanpa ekspresi di balik jendela berjeruji besi.
Ini surat kesekian yang kauhantarkan. Tapi seperti yang sudah-sudah. Tak ada satu pun guratan pena yang terbaca. Kecuali percikan darah!
Lelaki itu meremas surat di tangannya. Lalu melemparkannya ke dalam tempat sampah.
Sebelum mati. Dengan paruh retak yang terkulai. Merpati jantan melantunkan selarik puisi.
aku datang sebagai utusanÂ
seorang perempuan
yang selalu tersenyum kepada awan
yang pada matanya terpancar harapan
yang di hatinya hanya ada satu keinginan
mencintai--lelakiÂ
yang lebih memilih menikahi sepi
---