Perempuan itu tersenyum menatap barisan awan yang berarak beriringan. Seraya membetulkan letak gaunnya yang tersingkap ke kanan, ia bergumam. Sudah waktunya menanam hujan di pekarangan. Agar tak ada lagi airmata yang berhamburan hanya karena rasa kehilangan.
Sepasang burung Kedasih berpagutan di atas dahan pohon cemara. Melepaskan kerinduan yang sekian lama tertahan oleh musim kemarau yang tak kunjung usai. Sementara perempuan yang mengaku sebagai petani hujan mulai memetik awan-awan di angkasa. Menempatkannya di dalam satu wadah. Lalu perlahan mulai menggali sejengkal demi sejengkal tanah di pekarangan hatinya.
Hari ini perempuan itu menanam bibit hujan berwarna merah soka. Warna kesukaan yang melambangkan kesetiaan dan indahnya gairah cinta.
Pada hari lain ia berkeinginan menanam bibit hujan berwarna biru. Warna yang mengingatkannya pada kenangan masa lalu. Di mana kekasih hati tak henti berbisik syahdu, sayang aku selalu rindu.
Ah, waktu. Mengapa terasa lambat nian ia berlalu. Bibit-bibit hujan di pekarangan entah kapan akan bertumbuh. Perempuan itu kembali duduk dengan tangan bersitumpu. Dibiarkannya gerimis menitik dari kedua sudut matanya. Dipersilahkannya kembali rasa kehilangan bertandang dan mengetuk berulang pintu hatinya.
***
Malang, 18 Mei 2019
Lilik fatimah Azzahra