Fiksi yang Menjelma Menjadi Kisah Nyata
Minggu, 13 Januari 2019
Terhitung sudah 3 pekan pascapemulihan kesehatan, pagi itu anak lanang berinisiatif mengajak emaknya ini menghirup kembali udara segar. Tentu saja saya antusias menerima ajakan tersebut. Apalagi stock apel di dalam kulkas sudah tandas tak bersisa (saya setiap hari harus minum jus apel untuk terapi kesehatan).
Agak siangan, kami berangkat ke arah timur. Seperti biasa kami pergi berboncengan menggunakan motor.
Satu jam kemudian motor hitam telah melintasi daerah Gubuk Klakah-Poncokusumo, arah menuju Bromo. Sepanjang jalan mata kami dimanjakan oleh jajajaran kebun apel yang tengah berbuah lebat. Saya pun tidak tahan untuk tidak berseru lantang di telinga anak lanang,"Nanti pas balik turun kita beli apel yang banyak, ya!"
Perjalanan berlanjut sesuai tujuan yang sudah disepakati. Yakni singgah sebentar di Bukit Bidadari. Lalu lanjut ke wahana wisata baru yang berada di atasnya.
Coban Pelangi sudah terlewati. Motor terus melaju lincah melintasi jalanan yang kian menanjak. Di sisi kiri bahu jalan tampak jurang menganga diselingi rimbun pepohonan.Â
Suasana siang itu amat mamring. Maklum langit mulai digelayuti mendung.
Lokasi tujuan masih 2 km lagi.
Tiba-tiba, braakkk!Â
Motor terhenti tepat di tanjakan yang menikung. Kepala saya sempat terantuk ke depan mengenai punggung anak lanang. Tapi untunglah badan tidak sampai terpental jatuh.