Pada senja yang temaram. Aku memilah-milah kenangan. Di setiap fase dan pusarannya kuberi tanda warna kesumba.
Warna merah
Ini kenangan paling indah yang diliputi buncah dan gairah. Ketika itu kita masih belia. Semirip buah mangga yang masih mengkal. Yang menafsirkan cinta, begitu sederhana dan amat dangkal.
Warna biru
Pada fase ini kita mulai tahu. Bahwa cinta bisa berujung nafsu. Juga pilu. Jikalau kita tak pandai mengekang diri. Maka hilanglah harkat dan jati diri.
Warna jingga
Kita telah tumbuh dewasa. Mulai matang dalam setiap langkah. Juga mengolah rasa. Kita tak lagi beranggapan. Bahwa cinta adalah segala-galanya, satu-satunya pungkasan. Yang mesti dikultus dan didewakan.Â
Warna hitam
Ini warna paling suram. Sekaligus menyakitkan. Serupa tusukan duri yang perih melukai.
Ini mungkin fase yang paling berat. Saat diri berjuang hendak melupa kenangan walau sesaat.Â
Namun lebih seringnya kenangan hitam tak mau pergi. Ia justru mendominasi. Menguasai hati. Lalu, sesukanya mengajak mati bunuh diri.
***
Malang, 10 Desember 2018
Lilik Fatimah Azzahra