Kita baru saja memerangkap hujan. Menguburnya dalam-dalam di sudut pelataran. Katamu; ini cara terbaik untuk membunuh kenangan. Sebab kenangan tak pernah bisa mati. Ia akan terus hidup. Utamanya di hati para pengecut yang enggan melepas kata sanggup.
Kita baru saja menguliti malam. Menguncinya rapat-rapat di dalam lemari besi. Kaubilang; Ini cara teraman untuk menyembunyikan sekawanan mimpi. Sebab seringnya mimpi tak lagi sekadar bunga tidur. Melainkan tirani bagi hati yang mengaku mudah sekali hancur.
Kita baru saja menyandera senja. Memasungnya jauh di tengah hutan belantara. Kaubisikkan kata; Aku tak hendak membunuh senja. Aku hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Pada senja yang acap menebar pesona. Memincut dan melucut hati para perempuan. Membuat kekasih-kekasih mereka merasa terabaikan.
Kita baru saja mengejar harapan. Menjaringnya dengan waring yang terbuat dari anyaman tekat. Kau tak henti memberiku semangat; Jangan menyerah! Teruslah mengayun langkah. Apapun yang merintang di hadapan. Hadapi dengan senyuman. Jangan pula mau hidup di ujung lidah orang lain. Sebab bahagia itu letaknya tak sebegitu jauh. Di sini. Di relung hati kita masing-masing.
***
Malang, 24 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra