Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki Hujan

10 Agustus 2018   19:19 Diperbarui: 10 Agustus 2018   19:31 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber :belatik23.blogspot.com

Lelaki itu menarik perlahan kerai jendela apartemen. Membiarkan matanya menerawang jauh. Menembus butiran salju yang meluruh.

"Aku kangen," bisiknya serupa gumaman. "Ya, aku kangen," ia mengulang kata-katanya seperti ia mengulang kecupan yang dulu pernah didaratkan pada pipi chubby berlesung.

Sudah lama ia merindukan suara merdu rintik hujan. Hujan yang benar-benar hujan. Hujan air yang mengucur deras berkilau bening. Bukan hujan salju yang beku dan mengkristal di negeri orang. 

"Hujan di negeriku sangat indah, Ayumi," tangannya kembali bergerak. Menggoyang-goyangkan tali kerai yang mengendur.

"Ya, aku tahu. Aku mencoba membayangkannya dalam pikiranku. Kau sudah terlalu sering menceritakan padaku, Dion.Tentang hujanmu itu," Ayumi menyahut pelan. Tanpa tekanan. Membuat lelaki itu menoleh. Menyipitkan sebelah matanya dengan jenaka.

"Baiklah, Tuan. Jangan menatapku seperti itu. Aku tak malu berterus terang padamu. Aku memang cemburu pada hujan yang jatuh di negerimu itu," Ayumi mengangkat kedua bahunya.

Laki-laki itu tertawa. Ya, ia senang mendengar Ayumi menyatakan kecemburuannya. Ia sungguh merasa tersanjung. Sudah lama hatinya kerontang. Dicemburui baginya bagai mendapat guyuran hujan nan dingin menyejukkan. 

"Hujan di negeriku sangat cantik, Ayumi. Ketika ia hadir aku selalu mengajaknya berdansa. Kadang kami bergumul di bawah talang rumah sambil berteriak histeris melampiaskan kepuasaan," ia makin menjadi-jadi memuji hujan.

"Apakah kalian--maksudku kau dan hujanmu itu juga bercinta?" Ayumi menyeringai.  Lelaki itu mengangguk. Kedua bola matanya berbinar, memancarkan cahaya keemasan. Seperti pantulan bulan purnama di atas telaga.

"Kau sendirian mencumbui hujanmu itu, Dion?" Ayumi tersenyum ke arahnya.

"Tentu saja tidak!" matanya kian menyala. Sekelebat kenangan membawanya pergi ke masa lalu.

"Dionnn! Tunggu! Aku lepas baju dulu!" itu suara Miarsih. Miarsih Diandra. Gadis kecil sebelah rumah yang tomboy. Yang kelakuannya lebih petrak dari anak laki-laki mana pun.

"Jangan bugil begitu, Mia! Dadamu kelihatan. Kata Ibu anak perempuan tidak boleh menunjukkan dadanya sembarangan! Kecuali kelak kalau sudah bersuami," ia berseru lantang. Suaranya menggema mengalahkan rinai hujan yang ritmenya merampak bak alunan musik orkestra.

Miarsih Diandra tak menggubris. Ia tetap sigap melepas seragam sekolahnya. Melemparkan tas dan buku-buku di atas amben. Lalu dengan sekali lesat ia sudah berada di belakang Dion.

"Kukira bukan hujan yang mencuri hatimu, Dion. Tapi gadis cilik itu. Ia tentu lebih cantik dari butiran hujan," Ayumi melingkarkan tangannya pada leher tegap lelaki itu. Dari belakang.

"Hujan yang membuat Mia terlihat sangat cantik, Ayumi. Rambut keritingnya menggelantung, basah berkilau. Bibirnya membiru, gemetar menahan dingin. Dan menurutku itu sungguh sangat seksi sekali..." lelaki itu melempar pandang ke arah bunga-bunga sakura yang berubah memutih karena tertutup salju.

"Kalau kau mau...aku juga bisa tampil seksi seperti Miarsih kecilmu itu, Dion. Shower bisa menguyupkan rambutku,"  Ayumi semakin mempererat pelukannya.

Lelaki itu tertawa.

"Shower tidak bisa menggantikan hujanku, Ayumi."

"Apakah itu berarti aku tidak bisa menggeser posisi Miarsih Diandra di hatimu?"

Seketika lelaki itu bungkam. Tak bersuara.

***

Ini kepulangannya yang pertama sejak ia terbuang ke negeri orang. Ia nyaris menangis ketika kakinya menginjak hampar rumput kering di sekitar rumahnya. Ia juga nyaris terbahak ketika beberapa orang berebut merubungnya.

"Apakah benar kamu ini Dion?" salah seorang dari mereka menegaskan. Lelaki itu tidak menyahut. Ia sengaja memilih diam. Sebab ia tahu percuma menjelaskan pada mereka tentang siapa dirinya. Tak seorang pun bakal percaya. 

"Bukankah Dion sudah mati? Aku bahkan ikut mengubur jasadnya ketika itu," seseorang menimpali.

"Bagaimana cara ia mati. Maksudku--apa yang menyebabkan ia mati?" lelaki itu memicingkan mata. Bibirnya terangkat sedikit, setengah tersenyum.

"Saat bermain hujan bersama Mia Diandra kakinya terpeleset. Ia jatuh masuk ke dalam gorong-gorong air. Dan tubuhnya terseret arus. Baru keesokan hari jasadnya ditemukan dalam keadaan membiru dan menggelembung."

"Lalu Mia Diandra?" ia bertanya dengan suara parau.

"Gadis kecil itu sejak kematian Dion telah berubah menjadi hujan."

Lalu orang-orang pergi. Meninggalkannya sendiri di atas tanah gersang kerontang.

"Kau memimpikannya lagi, Dion?" suara Ayumi sayup-sayup. Membuatnya membuka mata.

"Ya, Ayumi. Mimpi itu datang lagi. Tapi--ah, kukira ini bukan sekadar mimpi. Kukira aku sebenarnya telah mengalami semacam reinkarnasi. Aku terlahir kembali di bumi yang lain, Ayumi. Bumi yang memiliki hujan mengkristal berwarna putih," ia meraih pundak Ayumi. Mencium lembut pipi istrinya yang bermata sipit itu.

"Ia telah memilih menjadi hujan, Ayumi. Gadis kecil dari negeri seberang itu," lelaki itu mendesah. 

Sementara di luar langit tersaput mendung. Ayumi melepas pelukannya. Ia berjalan mendekati jendela. Membuka kerainya sedikit.

"Tsuyu, Dion. Aku ingin menjelma menjadi hujan agar bisa membasahi hatimu..."

***

Malang, 10 Agustus 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun