Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Trah

17 Juli 2018   13:24 Diperbarui: 17 Juli 2018   13:38 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : zeynepnazan.wordpress.com

Aku menikahi Astuti, gadis yang sejak kecil menjadi penghuni sebuah Panti Asuhan. Pengasuh sekaligus pemilik panti menceritakan banyak hal tentangnya. Tentang bagaimana awal mula Astuti sampai bisa berada di tempat yang kebanyakan dihuni oleh anak-anak sebatangkara.

Masih menurut tuturan pengasuh panti, suatu hari datang seseorang yang menggendong bayi mungil. Sesorang yang berjanji akan datang kembali untuk mengambil Astuti jika keadaan yang dihadapinya mulai membaik.

Tapi hingga Astuti tumbuh dewasa, seseorang itu tidak pernah kunjung menjemputnya.

Jika aku menjatuhkan pilihan hatiku pada gadis tak beribu ayah itu, bukan semata-mata karena aku merasa kasihan. Bukan. Bukan karena itu. Aku meminangnya karena aku memang mencintainya. 

Sementara itu, sejak awal perkenalanku dengan Astuti, aku sudah mendapat penolakan keras dari Ibu. Alasan Ibu--Astuti tidak memiliki trah yang jelas. Ibu menginginkan aku menikah dengan gadis pilihannya seperti yang dilakukannya kepada Abangku, Siswoyo.

Tapi sekali lagi, karena aku sangat mencintai Astuti, aku sama sekali tidak mengindahkan peringatan Ibu. Dan aku tetap bersikeras menikahinya.

Karena merasa keinginannya ditentang, Ibu melepasku begitu saja. Membiarkan aku menikahi Astuti alakadarnya. Ibu bahkan cenderung memperlakukan aku dan Astuti semena-mena. 

"Ingat Wahyu! Ada tiga hal yang wajib diperhatikan oleh seorang pria ketika ia hendak menikahi seorang gadis. Bebet, bibit dan bobot. Kukira aku tidak perlu menjelaskannya lagi padamu, kau pasti sudah memahaminya!" suatu malam Ibu menegurku lagi. Saat itu kami sedang duduk dalam satu meja. Teguran pedas Ibu dilakukan di hadapan Abangku dan juga istrinya yang nota bene berasal dari keluarga terhormat.

Bisa ditebak. Astuti yang baru beberapa hari kunikahi langsung tertunduk sedih dengan mata berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak menyentuh makanan di atas piringnya.

"Jangan menghakimi aku, Ibu. Cinta sejati tidak memandang trah!" aku memeluk pundak Astuti yang duduk tepat di sebelahku. Berusaha menenangkannya.

Tidak ingin terjebak dalam suasana panas dan tegang, aku segera berdiri. Meraih lengan Asuti dan membimbimbingnya masuk ke dalam kamar. Tak kupedulikan pandangan marah Ibu--juga senyum sinis Sita, kakak iparku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun