Itulah sebab ketika Ayah berpulang menghadapNya--di usianya menjelang uzur, orang yang paling merasa kehilangan itu adalah aku.
***
Tahun 2018
Kini usiaku menginjak tiga puluh lima tahun. Usia dewasa. Dan aku sudah pula menjadi seorang ayah.Â
Damian anakku sudah duduk di bangku SD kelas satu.
Tapi aku tidak seperti almarhum Ayah yang sangat dekat dengan anaknya. Aku pria masa kini yang super sibuk. Yang bahkan tidak memiliki waktu barang sedetikpun untuk bersantai bersama keluarga. Aku nyaris kehilangan momen indah bersama si kecilku Damian.
Untunglah aku menikahi seorang perempuan yang sangat memaklumi dan memahami keadaanku.
Lastri, ia tidak saja berparas cantik, tapi juga sangat baik. Ia nyaris tidak pernah mengeluh memiliki suami workaholic sepertiku. Suami yang sehari-hari hanya memikirkan kerja dan kerja melebihi segalanya.
Sebagai penanggung jawab sebuah proyek pembangunan jalan bebas hambatan, aku dituntut untuk bekerja keras dan berpindah-pindah tempat. Aku harus rela lembur siang dan malam. Deadline waktu yang dibebankan kepada tim-ku mau tidak mau menguras tidak saja tenaga tapi juga pikiranku.Â
Tuntutan kerja yang sedemikian rupa membuat aku benar-benar semakin jauh dari keluarga kecilku. Waktuku lebih banyak berada di sekitar proyek. Menempati rumah papan yang sengaja dibangun untuk rehat para tukang dan kuli.Â
Durasi kerja yang tidak mengenal waktu praktis membuatku jarang pulang ke rumah. Waktu untuk menjenguk Lastri dan Damian hanya sebulan satu kali. Itu pun tidak bisa berlama-lama. Hanya beberapa jam. Pagi pulang, sore harus bergegas kembali lagi ke lokasi. Aku bahkan tidak sempat bertemu jagoan kecilku, Damian.Â