Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Santet

9 Juli 2018   09:15 Diperbarui: 10 Juli 2018   00:12 3136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: saepulbahriartist.blogspot.com

Berita tentang Satumi terkena santet sudah menyebar. Entah siapa yang pertama kali memviralkannya. Beberapa orang merasa penasaran lalu datang berbondong-bondong menyempatkan diri menjenguk Satumi--gadis berusia duapuluh tahun itu di rumahnya. 

Dan orang-orang yang datang itu semakin percaya begitu melihat keadaan Satumi yang tergolek lemah di atas tempat tidur dengan perut membengkak sebesar balon raksasa.

"Sudah diperiksakan ke dokter, Kang Jum? Siapa tahu Satumi bukan terkena teluh melainkan mengidap suatu penyakit," Riswan, pria muda yang sedang menghabiskan liburan kuliah itu, yang tinggal tak jauh dari rumah Satumi mencoba menepis isu yang beredar dengan menyampaikan pendapatnya. 

"Sudah, Wan. Tapi menurut mantri yang memeriksanya Satumi tidak mengidap penyakit apa-apa," Ayah Satumi yang dipanggil Kang Jum itu menyahut.

"Ke dokter, Kang. Bukan mantri. Dan periksa medis itu tidak cukup satu kali," Riswan masih bersikukuh. Dan Kang Jum tampaknya tidak suka dengan campur tangan pemuda itu. Terlihat jelas dari air mukanya yang semula cerah mendadak berubah murung.

Tidak ingin berdebat dengan pria sepantaran Ayahnya, Riswan akhirnya memutuskan untuk mengalah. Ia pamit pulang. Meninggalkan rumah Satumi. Meski dalam hati pemuda itu tetap tidak yakin bahwa Satumi telah terkena santet seperti yang santer dibicarakan oleh orang-orang seantero kampung.

Sesampai di rumah Riswan mendiskusikan perihal sakitnya Satumi dengan Ayahnya. Haji Sadeli.

"Apakah ilmu semacam itu--maksudku santet, memang ada di muka bumi ini, Ayah?" Riswan membuka percakapan. Haji Sadeli mengangguk.

"Masyarakat kita masih mempercayai hal-hal klenik, Wan. Kita tidak bisa menutup mata," Haji Sadeli menyahut pelan. Ia memahami benar jalan pikiran anak semata wayangnya yang cenderung modern.

"Lantas andai benar Satumi terkena santet, pasti akan ada orang yang dituduh sebagai pelakunya," Riswan menatap Ayahnya. Ia kerap membaca hal-hal demikian. Tentang pengeroyokan terhadap seseorang yang diduga sebagai dukun santet. Walau pada akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti. Namun tak jarang berujung miris karena terlanjur menimbulkan korban yang sebenarnya tidak bersalah. 

Belum juga Haji Sadeli mengiyakan, terdengar suara ribut-ribut dari luar rumah. Riswan segera beranjak dari duduknya untuk membuka pintu. Benarlah. Beberapa pria berumur sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya.

"Mana Haji Sadeli? Kami ingin bertemu Ayahmu, Wan! Kami minta baik-baik agar Ayahmu segera mencabut kembali santet yang dikirim kepada Satumi!" salah seorang dari laki-laki yang datang itu berseru lantang. Riswan terhenyak. Lalu menoleh ke belakang, menatap Ayahnya yang masih duduk bersila di atas amben dengan tenang.

***

Sekalipun Riswan dan Haji Sadeli sudah berupaya menjelaskan bahwa tuduhan akan santet itu tidak benar adanya, tapi para pria yang datang itu tetap saja tidak mempercayai ucapan keduanya. Mereka terus mendesak agar Haji Sadeli mengaku.

"Tunggu! Apa kalian bisa membuktikan bahwa Ayahku yang mengirim teluh kepada Satumi? Hati-hati. Menuduh tanpa bukti adalah fitnah! Dan kalian bisa kami tuntut balik!" Riswan mulai kehilangan kesabaran. Para pria itu mendadak terdiam.

"Bisa kalian beri tahu siapa yang memprovokasi tuduhan keji ini?" Riswan menatap tajam satu persatu orang-orang yang berdiri di hadapannya.

"Sudahlah, Wan. Kukira Ayah sudah tahu siapa yang menyuruh orang-orang ini datang ke mari. Sebaiknya kita maafkan saja mereka," Haji Sadeli berdiri. Menyalami satu persatu pria yang memenuhi ruang tamunya.

"Kalian pulanglah. Aku berjanji akan membantu menyembuhkan Satumi jika benar ia terkena santet. Dan kutegaskan sekali lagi pada kalian, bukan aku pelakunya," Haji Sadeli berkata seraya menyungging senyum.

***

Sepulang orang-orang tak diundang itu, Riswan kembali duduk bersebelahan dengan Ayahnya.

"Benarkah Ayah tahu siapa yang menyuruh orang-orang itu agar menggeruduk rumah kita?" Riswan menatap Ayahnya tak berkedip. Haji Sadeli mengangguk.

"Masih orang yang sama, Wan. Yang menyimpan dendam kesumat terhadap Ayah karena masalah cinta..."

Mendengar ucapan terakhir Ayahnya, Riswan terhenyak. Masalah cinta? Hatinya pun mulai meraba-raba.

"Apakah ini ada hubungannya dengan Ibu?" Riswan bertanya hati-hati. Kembali Haji Sadeli mengangguk.

"Ya. Masalah ini memang berkaitan erat dengan almarhum Ibumu," Haji Sadeli menegaskan.

"Ayah belum menceritakan apa-apa padaku," Riswan menggeser duduknya. Setengah mengeluh. Haji Sadeli berdehem.

"Baiklah. Kupikir sudah saatnya aku membuka rahasia yang tersimpan sangat lama ini kepadamu, Wan. Kau sudah cukup dewasa untuk bisa memahaminya," Haji Sadeli menatap sejenak ke arah Riswan. Lalu pria berusia enampuluh tahun itu mulai berkisah.

***

Riswan sudah kembali ke kota, kembali sibuk berkutat dengan mata kuliahnya. Dan sedikit banyak ia telah melupakan kasus santet yang menimpa diri Satumi. 

Sampai suatu petang, Irmina, kekasihnya yang bekerja sebagai wartawati menyodorkan selembar koran lokal ke arahnya.

"Baca ini, Wan. Soal santet," Irmina berkata seraya tertawa. Riswan mengernyit dahi. Matanya terpaku pada tulisan besar-besar yang tertera pada halaman depan koran.

Tetua Desa Berhasil Menyembuhkan Penyakit yang Diderita oleh Gadis Berinisial S yang Diduga Terkena Santet

Riswan membaca beberapa paragraf berita yang termuat dalam koran itu. Tak sampai usai. Ia terbatuk. Buru-buru ia menggulung surat kabar itu dan menyodorkannya kembali ke arah Irmina.

"Sepertinya aku harus segera pulang, Ir," ia beranjak dari tempat duduknya. melirik sekilas arloji di pergelangan tangan kanannya. Lalu setengah tersenyum ia menatap Irmina dan berkata,"Kau mau ikut, kan, Ir?"

Menggunakan kereta malam, ditemani Irmina, Riswan meluncur menuju desa tempat tinggalnya yang berjarak ratusan kilometer dari kota tempat ia menuntut ilmu. Dan mereka tiba di rumah menjelang dini hari.

Agak tak sabar Riswan mengetuk pintu.

Tak lama berselang terdengar seseorang menyeret langkah. Lalu muncul wajah perempuan dengan mata masih mengantuk.

"Satumi? Kau...?"

Riswan pun segera tanggap. Bergegas ia menerobos masuk ke kamar Ayahnya.

"Ayah! Hentikan rumor Santet itu sampai di sini!" Riswan berseru gemetar.

Seketika Haji Sadeli beranjak dari ranjangnya. Ia terkejut melihat Riswan yang muncul secara tiba-tiba. 

Sementara itu, bayi merah yang tengah pulas di dalam ranjang mungil di sudut kamar--mendadak menangis tak kunjung henti.

***

Malang, 09 Juli 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun