Langkah kaki Gendari telah sampai di area ketujuh. Pikirannya ragu. Apakah ia akan mampir ke tempat itu?
Belum juga mengambil keputusan, tiba-tiba seekor harimau melompat dan siap menerkamnya. Gendari terkejut bukan alang kepalang. Para emban dan pengawal yang mengiringinya sontak berhamburan. Beberapa di antaranya berusaha menangkap harimau yang tak henti mengaum, sementara beberapa yang lain berusaha menyelamatkan Gendari.
Akibat rasa kaget yang luar biasa, Gendari merasakan perutnya sakit tiada terkira. Bercak darah mulai merembes dari balik kain panjangnya. Disusul sesuatu berwarna hitam, kental dan berbau amis keluar dari gua garbanya.
Kiranya Gendari telah melahirkan.
Tapi bukan jabang bayi yang keluar melainkan segumpal daging yang berdenyut-denyut dan bergerak-gerak mengerikan .
Mengetahui hal demikian, Gendari pun menjerit histeris. Ia merasa sangat terpukul dan kecewa. Dengan marah ia menendang apa saja yang ada di hadapannya. Mulutnya tak henti meracau. Mengutuk para dewa. Menyumpahserapahi suaminya, juga mencaci maki Pandu dan Dewi Kunti.
Senja itu Gendari benar-benar telah kehilagan kewarasannya. Ia bagai orang kesurupan. Para emban dan pengawal yang merubungnya berdiri ketakutan.
"Aku tidak terima ketidakadilan ini! Persetan kalian semua!"
Gendari menangis menggerung-gerung. Suaranya terdengar hingga ke telinga Resi Abyasa yang kebetulan lewat di sekitar kaputren. Dengan kesaktian yang dimilikinya, sang resi segera paham apa yang sedang terjadi.
Perlahan didekatinya Gendari. Lalu dibisikinya kalimat menenangkan, "Bersabarlah, duhai Nakmas ayu. Apa pun bentuknya, segumpal darah ini adalah putra-putramu. Lihatlah!"
Dengan sebilah keris Resi Abyasa memotong-motong gumpalan daging itu hingga tercacah menjadi seratus iris. Setiap iris ditutupinya dengan selembar daun jati.