Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Daun Dewandaru

21 Maret 2018   06:12 Diperbarui: 21 Maret 2018   08:03 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.cataloniahotels.com

         

Sudah sering Tasmunah mendengar  slentingan  itu. Bahwa pohon Dewandaru yang tumbuh di sekitar makam Kyai Imam Sudjono, wilayah Gunung Kawi, dipercaya memiliki  yoni. Barang siapa yang kejatuhan daun atau buahnya, diyakini akan segera memperoleh berkah berupa kekayaan melimpah ruah. Tentu saja Tasmunah menyimpan baik-baik kabar yang menurutnya amat sangat berguna itu di dalam memorinya.

Ia pun menemukan celah yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan Basuki, suaminya---yang sehari-hari bekerja sebagai penarik becak. Manakala Basuki mengeluh bahwa di musim penghujan seperti ini pelanggannya sepi, turun drastis, yang tentu saja berpengaruh pada penghasilan yang diterimanya, Tasmunah seolah mendapat angin. Ia menyarankan agar suaminya itu pergi tirakat, menjalani lelaku di bawah pohon Dewandaru seperti yang dijalani oleh orang-orang yang mengaku berhasil dan sukses usai dua tiga hari menyepi di sekitar makam keramat itu.

"Ki Pamong Desa kabarnya juga pernah tirakat di sana sebelum acara pemilihan Kepala Desa dilaksanakan. Buktinya, beliau terpilih dan duduk menjabat sampai sekarang. Ada juga Subadil, pemilik toko bangunan yang sempat bangkrut itu. Ia pun pergi ke sana dan sekarang usahanya maju kembali. Bahkan lebih sukses dari sebelumnya. Itu hanya satu dua contoh, Kang," Tasmunah berusaha mempengaruhi suaminya. "Kalau Akang mau, aku bisa memberi banyak contoh lagi."

"Masya Allah! Kau masih juga mempercayai hal-hal berbau tahayul seperti itu, Mun? Itu syirik namanya. Rezeki itu mintanya kepada Gusti Allah. Bukan kepada sebatang pohon," Basuki agak geram mendengar saran istrinya yang  nyeleneh  itu.

"Ya, semua terserah  sampean  Kang. Kalau mau mendengar saranku dan melaksanakannya---syukur. Mengabaikannya juga---monggo," Tasmunah mencibir seraya mengangkat bahu.

Pembicaraan terhenti. Ruslan, anak semata wayang mereka yang duduk di bangku SMP kelas 8 masuk ke dalam rumah dengan wajah murung.

"Tadi di sekolah aku dipanggil ke ruang wali kelas. Diingatkan untuk segera melunasi uang bangunan," bocah itu bersungut seraya menghempaskan tubuhnya di atas  amben. Tasmunah menatap suaminya. Basuki pura-pura tidak mendengar. Ia membuang muka ke arah samping.

"Tuh, anakmu ditagih uang bangunan. Apa aku harus datang ke sekolah dan minta tenggat waktu lagi? Kukira wali kelasnya sudah bosan mendengar janji-janjiku," Tasmunah mendekati suaminya. Basuki masih melempar pandang jauh ke luar jendela.

Otak laki-laki usia empat puluhan itu mendadak terasa keruh, buntu.

Belum juga ia mampu mencari jalan keluar bagaimana caranya melunasi uang bangunan Ruslan, masalah lain muncul di hadapannya. Pemilik rumah kontrakan datang menagih uang sewa yang juga menunggak beberapa bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun