Perempuan muda itu menatap kejauhan seraya meraba perutnya yang membuncit. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya yang terus mengalir. Meski ia berusaha untuk rileks, tetap saja kecemasan tak mampu dihalaunya.
"Dokter sudah menjelaskan banyak hal padamu, Lily, jadi tenanglah,"suara Ron, suaminya, membuatnya menoleh.
"Dokter Halim bukan seorang perempuan, Ron. Jadi ia tidak tahu bagaimana rasanya kontraksi sebelum melahirkan."
"Kalau bidan Nur?"
"Bidan Nur itu masih lajang. Ia hanya menguasai teori. Praktiknya belum."
"Kukira---tanda-tanda perempuan akan melahirkan itu seperti...mm orang kebelet buang air besar. Mulas-mulas nggak jelas begitu," Ron berkata lagi. Perempuan muda itu cemberut. Lalu tersenyum kecut. Bisa-bisanya Ron bilang seenteng itu.
"Kau berkata seolah kau pernah melahirkan, Ron," ia mencibir ke arah suaminya. Ron menyembunyikan tawa.
Ini hari-hari paling mendebarkan baginya. Kecemasannya sudah sampai di ubun-ubun. Ia terlihat amat stres. Meski, sekali lagi Ron tidak pernah surut memberinya semangat.
"Kau pasti bisa melewatinya. Lily. Aku yakin. Dan kukira bayi kita sama semangatnya sepertiku. Ia akan mendobrak dinding plasenta dengan kekuatan super. Bahkan sebelum kau sempat menyadarinya, tahu-tahu ia sudah tertawa di sampingmu."
"Ron. Kau jangan bergurau. Aku benar-benar cemas," perempuan muda itu mencengkeram kuat-kuat lengan Ron yang kekar.
"Aku tidak bergurau, Lily," Ron mengecup lembut kening istrinya yang selalu dipanggilnya dengan nama Lily itu. Meski nama sebenarnya adalah Rose.