Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki Selingkuhan Ibu

8 Januari 2018   21:05 Diperbarui: 8 Januari 2018   21:17 28355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Pin by praew /www.pinterest.com

Aku tak habis pikir mengapa Ibu meminta bercerai dari Ayah. Padahal menurutku Ayah adalah sosok yang baik. Sosok panutan yang tidak ada duanya. Sebagai anaknya, aku amat bangga padanya. Bahkan ketika guru di sekolah menanyakan padaku siapa tokoh di dunia ini yang aku idolakan dan kagumi, aku tak ragu menjawab---Ayah.

Tentu saja ketika Ibu memutuskan membuat surat gugatan cerai dan melayangkannya ke kantor Pengadilan Agama setempat, bermacam pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apa yang sudah diperbuat Ayah? Apa salah Ayah?

"Jangan-jangan Ayahmu selingkuh, Ndre!" itu pendapat Ryo, teman SMU yang duduk satu bangku denganku.

"Tidak mungkin! Aku tahu benar betapa besar cinta Ayah kepada Ibu. Tidak ada perempuan lain yang bisa menggantikan posisi Ibu di hatinya sampai kapan pun!" sergahku sengit. Aku tidak suka mendengar pendapat Ryo yang kupikir sangat ngawur itu.

"Bagaimana kalau keadaannya sekarang dibalik? Ibumu yang berselingkuh?" Ryo menatapku serius. Aku terjengah. Hatiku mulai bimbang. Masuk akal juga apa yang dikatakan Ryo.

Dan ketika kesempatan itu ada, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengorek hati Ibu.

"Apakah Ayah telah berbuat kesalahan fatal sehingga Ibu memilih untuk berpisah?" tanyaku hati-hati. Ibu tidak segera menyahut. Ia terdiam cukup lama. Sepertinya Ibu memastikan dulu, apakah aku layak mendapat penjelasan darinya.

"Andre, kupikir kau sudah cukup dewasa untuk bisa memahami kondisi kami. Ayah dan Ibu terpaksa harus mengambil langkah berat ini. Berpisah adalah salah satu solusi terbaik," usai berkata begitu Ibu tercenung sejenak.

"Kalau kalian memang saling mencintai, harusnya bisa mempertahankan cinta kalian. Jangan mengambil keputusan yang pada akhirnya membuat seumur hidup menyesal," aku bicara bak orang bijak. Entah mengapa aku merasa lebih pintar dari kedua orang tuaku.

Ibu kembali terceung.

"Ibu harus menarik kembali gugatan cerai itu," aku menatap Ibu tak berkedip.

"Tidak bisa, Andre. Ibu telah sampai pada keputusan final itu," Ibu membalas tatapanku.

Aku berdiri. Kali ini tidak saja menatap Ibu, tapi juga mengultimatumnya.

"Beri tahu alasan Ibu mengapa menggugat cerai Ayah. Jika alasan itu masuk akal, maka aku tidak segan mendukung Ibu. Tapi jika tidak---maka jangan salahkan jika aku lebih condong membela Ayah."

 ***

Hingga sidang perceraian itu diputuskan dan Ibu berhasil mengantongi akte cerai dari Pengadilan Agama setempat, aku tidak juga tahu dasar-dasar apa yang menjadikan Ibu menggugat cerai Ayah. Dan itu membuatku menjauh dari Ibu. Aku memilih kost di dekat sekolahku. Tidak tinggal lagi bersama Ibu. Hilang sudah rasa hormatku padanya. Sekalipun tidak terbukti Ibu berselingkuh---seperti dugaan Ryo, tapi diamnya Ibu membuatku berpikir bahwa bisa saja kemungkinan itu memang benar adanya.

Tinggal menunggu waktu. Bukankah waktu tidak pernah berdusta?

Dua bulan berikutnya, ketika aku pulang untuk mengambil berkas-berkas sekolahku yang masih tertinggal di rumah, ada hal yang membuatku sangat marah. Aku melihat Ibu tengah duduk bersantai di ruang tamu, bersanding dengan seorang laki-laki yang tidak kukenal. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Mereka asik berbincang dan bersenda gurau. Terlihat sangat mesra. Ibu bahkan menyandarkan kepalanya di pundak lelaki yang, entah siapa dia.

Sungguh. Pemandangan itu membuat dadaku terasa sesak dan sakit.

Aku mulai tahu. Kiranya laki-laki itulah penyebab mengapa Ibu menggugat cerai Ayah.

Tiba-tiba saja aku gelap mata. Kupukul laki-laki asing itu dari belakang dengan tinjuku, bertubi-tubi. Laki-laki itu tak sempat membalas. Ia langsung jatuh tersungkur di lantai.

Kudengar Ibu menjerit-jerit memintaku agar menghentikan penyerangan yang membabi buta. Tapi aku sama sekali tidak megggubris suara Ibu.

Dan hatiku kian membara melihat Ibu berhambur memeluk lelaki itu, tersedu sedan di sampingnya.

Aku merangsek lagi. Ingin kuinjak kepala laki-laki keparat yang telah merebut hati Ibu dari Ayah sekuat tenagaku.

Tapi belum sempat kakiku beranjak sebuah tangan menarik krah kemejaku dengan kasar, membuatku menoleh dan terkejut bukan alang kepalang.

"Hentikan Andre!"

Ayah.

"Tidak! Aku tidak akan tinggal diam. Lelaki itu selingkuhan Ibu!"

"Kau salah sangka, Andre!"

"Lalu siapa dia? Dengar Ayah. Mereka baru saja bermesraan di depan mataku. Aku menyaksikannya sendiri!"

"Mari kujelaskan padamu. Andre. Dengarkan kata-kata Ayah. Orang itu adalah Ayah kandungmu!" 

Aku terkesiap. Darahku seolah berhenti mengalir.

"Kami sempat mengira ia sudah meninggal. Ketika badai besar menenggelamkan kapal pesiar yang ditumpanginya puluhan tahun silam, saat usiamu masih bayi," Ayah melanjutkan kata-katanya. "Itulah sebab aku mengembalikan keputusan kepada Ibumu saat mendengar kabar Ayahmu masih hidup dan sedang dalam perjalanan pulang."

Kali ini aku benar-benar terdiam. Tak mampu berkata-kata. Hanya kakiku gemetar maju menghampiri Ibu dan sosok asing yang masih terbujur diam di lantai.

Aku mulai was-was.

Dan aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku sendiri ketika laki laki yang kuhantam habis-habisan itu menghembuskan napas terakhirnya di atas pangkuan Ibu.

***

Malang, 08 Januari 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun