Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovelFC](#25) Sang Pelarian

28 April 2016   08:28 Diperbarui: 28 April 2016   08:35 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kisah sebelumnya http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-24-sang-pelarian_571d5497367b6151048b4587

Aku melihat wajah Nenek memucat pasi. Tubuh rentanya gemetar. Kupapah ia menuju kursi di ruang tengah. Tiga adik Cinta merubungnya.

"Kakak, Nenek kenapa?" tanya Sandra, adik terkecil Cinta.

"Kalian jaga Nenek sebentar, ya. Kakak ambilkan minum dulu," aku beranjak menuju dapur dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas. 

"Nenek minumlah," ujarku. Perempuan tua itu meraih gelas dari tanganku. Ia meneguk isinya sedikit.

"Setelah Fatima, sekarang Cinta," Nenek bergumam sedih seraya menatapku. Mulutku tak bisa menjawab apa-apa. Hanya batinku yang bergejolak. Mengapa aku tak mampu mencegah semua kejadian ini? 

Kupandangi tiga sosok mungil yang masih berdiri di hadapan Nenek. Wajah-wajah polos mereka membuatku trenyuh. Kini pikiranku terbelah. Mana yang harus kulakukan terlebih dulu? Mencari Bunda Fatima, Cinta, atau menjaga Nenek dan ketiga bocah ini?

 

***

"Nak, bisakah kamu membantu mencari Fatima dan Cinta?" suara Nenek menyadarkan kebingunganku.

"Akan saya lakukan, Nek. Tapi... saya juga mengkhawatirkan keselamatan Nenek dan adik-adik ini."

"Kami bisa menjaga diri, Nak. Percayalah," Nenek menatapku tegar. Aku masih belum beranjak. Pikiranku masih buntu. Hh, lagi-lagi aku menggeram. Menyalahkan diri sendiri yang teramat begitu bodoh karena tak bisa melindungi dua perempuan lemah yang kini entah bagaimana keadaan mereka.   

Kalau saja ada sedikit pencerahan. Ah....

Tetiba pikiranku tertuju pada seseorang. Pak tua itu! Kenapa tidak? Aku beranjak.

"Nek, aku bisa menitipkan kalian pada Pak tua itu!" aku berseru girang. Ya, satu-satunya orang yang bisa membantuku adalah dia. Buru-buru aku melangkah menuju rumah Pak tua yang hanya berbatas pagar bambu dengan rumah Nenek.

Laki-laki berumur itu tengah memasang palang pintu kandang ketika aku datang. Ia melambaikan tangan ke arahku.

"Pak tua, bisa kita bicara sebentar?" aku bertanya setengah gugup. Pak tua mengangguk. 

"Bunda Fatima dan Cinta menghilang..." aku mengadu. Pak tua tampak terkejut. 

"Kapan itu?"

"Bunda Fatima kemarin usai dari menjenguk anak-anak."

"Ceritakan kronologinya."

"Saat kami tiba di rumah, ternyata mantan suami Bunda Fatima sudah menunggu. Laki-laki itu memaksa agar Bunda Fatima menyerahkan kunci asli rumah yang ditempati. Mereka beradu mulut. Ketika laki-laki itu melayangkan tangannya pada wajah Bunda Fatima, amarah saya tersulut. Saya menonjok laki-laki itu. Tapi ia balas menyerang saya. Dengan sebuah kursi ia menghantam tengkuk saya hingga saya jatuh tak sadarkan diri. Begitu siuman, saya tidak melihat sosok Bunda Fatima," aku menceritakan kembali kejadian yang kami alami.

"Lalu mengapa Cinta ikut-ikutan menghilang?" Pak tua memicingkan matanya.

"Seharian ini saya dan Cinta mencoba mencari keberadaan Bunda Fatima. Untuk sementara Cinta mencurigai ayahnya-lah yang menyembunyikan Bunda Fatima. Tapi usaha kami tidak membuahkan hasil. Lalu kami memutuskan untuk kembali ke rumah Nenek. Ternyata ayah Cinta sudah berada di sana. Terjadi perang mulut lagi. Kali ini antara Cinta dan ayahnya. Gadis itu merajuk. Ia masuk ke dalam kamar sambil menangis. Beberapa saat kemudian, setelah laki-laki itu pergi, Nenek membuka pintu kamar Cinta. Nenek terkejut. Kamar itu kosong. Jendela kamar dalam keadaan terbuka...."

"Hmm, jadi gadis itu kabur lewat jendela?" Pak tua menegaskan.

"Bisa jadi begitu." Aku mengangguk.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan, Nak?" Pak tua menepuk pundakku. 

"Saya akan mencari mereka, Pak tua. Sampai ketemu! Saya tidak akan memaafkan diri saya jika, ah, saya tak berani membayangkannya. Bisakah Pak tua membantu saya?"

"Dengan senang hati, anak muda."

"Saya menitipkan Nenek dan dan adik-adik Cinta pada Pak tua...."

"Cuma itu?"

"Ada satu lagi. Saya ingin meminjam si Coklat untuk menemani saya mencari jejak Bunda Fatima dan Cinta...."

 

Bersambung....

 

***

Malang, 28 April 2016

Lilik Fatimah Azzahra 

*Karya ini diikutsertakan dalam Tantangan 100 Hari menulis Novel Fiksiana Community  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun