Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Ibu Menagih Air Susu

15 September 2015   10:05 Diperbarui: 15 September 2015   10:11 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah, judul di atas hanyalah sebuah perumpamaan. Jika benar ibu menagih air susu yang telah diberikan kepada kita, tidak mungkin kita mampu mengembalikannya.

Perumpamaan itu hanya untuk bahan renungan. Betapa besar pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya. Kasih sayang yang tulus sejak anak-anak dalam kandungan hingga mereka tumbuh dewasa dan menua.

Berkenaan dengan judul di atas, saya ingin berbagi cerita. Suatu hari saya kedatangan sepasang suami istri. Mereka berasal dari luar kota. Tamu  tersebut minta diantar ke sebuah Panti Werda atau biasa disebut Pondok Lansia kepada saya. Dengan senang hati saya pun mengantarnya. Saya pikir mereka hendak memberikan santunan seperti yang biasa dilakukan oleh teman-teman saya selama ini.

Tapi alangkah terkejut hati saya begitu mengetahui tujuan sebenarnya tamu saya itu. Ternyata mereka ingin menitipkan Ibu mereka di Panti Werda itu.

Tamu laki-laki beralasan menitipkan ibunya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sementara istrinya mengeluh lelah dan repot jika harus merawat sang mertua yang sudah sepuh dan mulai pikun.

Saya tentu saja tidak punya hak untuk melarang keinginan mereka. Apalagi pihak Panti Werda pun berkenan menerima dan meluluskan permintaan kedua suami istri itu dengan senang hati.

Ada yang membuat hati saya miris. Sang Ibu menangis ketika mengetahui bahwa ia akan dititipkan di tempat asing dan jauh dari anaknya. Berkali-kali ia mengatakan ingin pulang dan tidak mau berpisah dengan anaknya. Tapi sang anak dan menantu sama sekali tidak menghiraukan.

Beberapa bulan kemudian saya mendengar kabar bahwa Ibu penghuni panti tersebut meninggal tanpa didampingi oleh anaknya.

Duh, saya jadi ikut terbawa arus suasana. Akankah anak-anak kelak juga menitipkan saya ke Panti Werda ketika usia saya sudah uzur? Ah, mudah-mudahan saja tidak. Saya ingin tetap tinggal bersama anak-anak tercinta hingga akhir hayat.

Meski peribahasa mengatakan, Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggal galah, bukan berarti anak-anak lantas melalaikan kewajiban menjaga dan merawat kedua orang tua saat usia mereka sudah lanjut. Terutama pada sosok seorang ibu. Saat  ibu tak mampu lagi berbuat sesuatu bagi kita, layakkah kita menitipkan (mengasingkan) beliau di tempat yang jauh dari pandangan kita? 

Bagaimana seandainya ibu benar-benar menagih air susu yang telah diberikan kepada kita? Seluruh harta dan kekayaan yang ada di langit dan di bumi ini niscaya tak akan mampu melunasinya. Tak ada yang sepadan untuk membalas pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu.

 

 

                                 ***

Malang,15 September 2015

Lilik Fatimah Azzahra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun