Mohon tunggu...
Sukma
Sukma Mohon Tunggu... Freelancer - Membaca dan menulis akan membuka pikiran

Awali dengan mimpi, mulailah dengan tindakan, iringi dengan doa dan keyakinan, nikmati segala prosesnya, syukuri segala hasilnya,

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pindah Ibu Kota, Perlukah?

18 November 2019   21:17 Diperbarui: 21 November 2019   23:14 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibukota pemerintahan Republik Indonesia secara resmi akan dipindahkan ke pulau Kalimantan, tepatnya di Provinsi Kalimantan Timur, yang mencakup wilayah 2 kabupaten yaitu kabupaten penajam paser utara dan kabupaten kutai kertanegara. Pernyataan resmi tersebut disampaikan presiden Jokowi widodo di istana Negara, dalam konferensi pers di istana Negara yang dihadiri  oleh gubernur DKI Jakarta dan gubernur Kalimantan timur serta menteri-menteri cabinet kerja. Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan ibukota baru tersebut diperkirakan mencapai Rp. 466 Triliun, yang 19%  berasal dari APBN, sisanya berasal dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), investasi swasta serta investasi BUMN. Dalam Konferensi persnya, presiden Jokowi menyampaikan alasan pemindahan ibukota, mulai dari daerah yang minim dampak bencana, lokasi strategis, ketersediaan lahan hingga infrastruktur yang memadai. Presiden pun juga menyatakan bahwa pemilihan Penajam Paser Utara dan Kutai kertanegara telah melalui kajian panjang selama 3 tahun, keputusan diambil dengan persiapan matang dan mendetail.

Tentunya kita bersama perlu mempertanyakan urgensi pemindahan ibukota saat ini, apakah Karena keadaan permasalahan Jakarta yang cukup komplit mulai dari faktor kemacetan, banjir, polusi udara, pencemaran, hingga pengangguran atau ini juga merupakan strategi pemerintah dalam menyongsong pembangunan Negara untuk 50-100 tahun kedepan. Namun lebih dari itu, banyak pendapat ahli yang mengatakan bahwa keadaan Jakarta kedepan akan jauh memburuk dari keadaan saat ini, pembangunan yang tak sesuai dengan perencanaan tata ruang kota, serta permasalahan kemiskinan, urbanisasi dan pengangguran  belum lagi kemacetan. Sehingga keputusan pemindahan ibu kota adalah keputusan yang tepat.

Dari sisi lain, saat kita bicara ibukota baru, maka kita juga akan bicara tentang banyak hal yang perlu disiapkan dalam mendukung kegiatan pemerintahan. Mulai dari transportasi nasional dan internasional, konsep urbanisasi dan perkembangan ekonomi baru di lokasi tersebut, system pertahanan dan keamanan baru ibukota, mitigasi kebencanaan dan infrastruktur  pendukung operasional pemerintahan. Selain itu daerah yang ditinggalkan yaitu Jakarta juga perlu diperhatikan, gedung-gedung pemerintah yang ditinggalkan akan difungsi seperti apa, perumahan-perumahan pegawai yang bekerja di kementrian dan lembaga Negara akan di manfaatkan untuk apa serta aset-aset kenegaraan lainnya yang akan ditinggalkan.

Angka Rp 466 Triliun yang disampaikan pemerintah bukanlah jumlah yang sedikit. Pertanyaan yang muncul apakah biaya tersebut sudah mencakup biaya logistic pemindahan semua logistic pemerintahan dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, biaya pembentukan system pertahanan baru, pembangunan sarana informasi dan komunikasi, pengembangan system mitigasi bencana, pengembangan sarana pelayanan dasar, perbaikan sarana dan pra sarana transportasi darat yang berkualitas untuk ibukota negara, yang dikatakan masih banyak jalan di Penajam Paser Utara yang masih berbatu kerikil.

Perlu kita cermati jika Negara hanya menanggung beban 19%, lalu bagaimana hak milik dan pengelolaan gedung-gedung yang dibangun oleh swasta. Jika KPBU adalah bentuk kerja sama pemerintah dan badan usaha, maka prinsipnya tentu berbeda jika pembangunan berbentuk investasi swasta. Siapa swasta yang nantinya akan diuntungkan dari pemindahan ibukota tersebut. Siapa masyarakat yang akan mendapat dampak perekonomiannya, dan sejauh mana perputaran uang dalam proses pembangunan ibukota baru mampu meningkatkan aktivitas ekonomi wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai kertanegara khususnya dan juga Kalimantan timur dan kawasan Indonesia timur secara umumnya

Begitu juga dengan investasi BUMN, banyak BUMN yang mengalami masa-masa sulit saat ini, sebut saja Krakatau steel yang harus mem-PHK pekerja outsourchingnya sebagai bentuk downsizing untuk mengurangi beban anggaran perusahaan karena kalah bersaing dengan produsen asing yang menyerbu pasar baja Indonesia dengan harga murah. Disaat pemerintah sedang gencarnya menggenjot infrastuktur nasional, pabrik baja nasional malah menghadapi masa-masa sulit. Belum lagi usaha semen nasional, semen Indonesia yang merupakan BUMN semen nasional juga mengalami masa-masa sulit, sebut saja anak perusahaan semen Indonesia Semen Padang. Pada tahun 2018 lalu, hanya 66% hasil produksi semen padang yang terserap oleh pasar, ditengah  biaya produksi yang semakin tajam, pemasaran semen nasional malah diserbu semen produksi asing yang di jual dibawah harga perusahaan nasional. Walaupun banyak proyek pemerintah di bidang infrastruktur, namun kenyataannya BUMN semen malah mengalami over supply.

 Belum lagi kita bicara Pertamina, Garuda, PLN dan BUMN lainnya, berdasarkan catatan yang ada hanya BUMN perbankan yang memiliki catatan bagus pada tahun lalu, sedangkan secara umum BUMN mengalami kenaikan utang dengan catatan laba bersih yang cenderung menurun. Disaat kondisi seperti itu, BUMN malah akan dibebankan untuk investasi dalam proyek pembangunan ibukota baru.

Jika kita bicara kritik masalah lingkungan, maka kita dihadapkan pada proses pembukaan lahan baru untuk ibukota yang nanti akan banyak pohon-pohon hijau yang akan dikorbankan. Belum lagi jika sudah berkembang, maka akan banyak lagi wilayah-wilayah baru yang akan muncul yang akan mengorbankan hijaunya kawasan tersebut. Wilayah Kalimantan yang sebelumnya menghijau akan berganti dengan perumahan-perumahan mewah bisnis property pengusaha kaya. Walaupun pemerintah memiliki konsep green city untuk ibukota baru, namun ancaman faktor lingkungan akan sulit dikendalikan jika urbanisasi masyarakat seperti di Jakarta tidak bisa dikendalikan. Bersihnya udara Kalimantan akan digantikan dengan asap kendaraan bermotor yang lalu lalang setiap hari. Maka wajar saja faktor lingkungan dikedepankan dalam persoalaan ini oleh beberapa pihak. Status Kalimantan sebagai paru-paru dunia akan berubah sebagai salah satu sumber polusi di Negara ini.

Pemindahan ibu kota tak bisa hanya bicara persoalan ekonomi saja, kita harus lebih memandang persoalan lain seperti geopolitik, demografi, sosial budaya, pertahanan nasional, lingkungan dan juga banyak permasalahan lainnya. Permasalahan-permasalahan inilah yang belum tersampaikan pemerintah kepada public dalam menjawab urgensi pemindahan ibukota dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Karena secara umum, kita hanya disodorkan pemerintah alasan-alasan yang bersifat pemerataan ekonomi saja. Sedangkan persoalan-persoalan lain yang juga urgen untuk disampaikan, sama sekali tidak disampaikan pemerintah.

Pembicaraan ibukota baru akan selalu menampilkan perdebatan panas diberbagai bidang kehidupan, karena yang pindah tidak hanya kantor pemerintahan saja, tetapi juga pola kehidupan budaya, sosial, dan demografi kependudukan para pegawai pemerintahan pusat. Pemerintah harus cermat memperhatikan kesiapan Penajam panser utara dan Kutai kertanegara sebagai wadah baru kehidupan pemerintahan. Tidak hanya faktor infrastrukturnya saja, tetapi juga  kesiapan ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, perubahan arus urbanisasi, geopolitik, demografi kependudukan, dan juga yang terpenting system pertahanan  ibukota baru. Konsep pembangunan jangka panjang terkait faktor-faktor tersebut sudah harus tergambar oleh pemerintah saat ini, agar pemindahan ibukota tidak menjadi euphoria sesaat yang meninggalkan banyak masalah di kemudian hari.

Maka jika kita bertanya perlukah ibukota Negara ini dipindahkan, maka kita perlu menilai keadaan kita saat ini, serta urgensi dari keputusan pemindahan tersebut. Masih banyak persoalan lain yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam melayani masyarakat. Persoalan kemiskinan, kedaulatan pangan dan energy, pertumbuhan ekonomi yang melambat, utang yang cenderung meningkat, pengangguran, reformasi birokrasi dan banyak masalah lain. Dari sisi urgensi pemindahan ibukota ini, belum ada alasan kuat yang benar-benar mengharuskan ibukota dipindahkan dari Jakarta, termasuk aspek ekonomi sekalipun. Jika pemerintah benar-benar menginginkan ibukota baru, mungkin lebih baik menunggu kondisi ekonomi yang stabil, keuangan Negara yang baik, serta juga keuangan BUMN yang sehat serta dapat memastikan agar perputaran uang dari proyek ibukota baru dirasakan manfaatnyaa oleh bangsa kita sendiri, dan masyarakat kita sendiri, bukan menguntung satu atau dua pihak saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun