Mohon tunggu...
Elizabeth
Elizabeth Mohon Tunggu... Mahasiswa - I'm undergraduate student who's passionate in economic, personal finance, and investment

Growing in my own way, walking in my own pace.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inovasi di Kala Krisis Ekonomi, Mungkinkah?

28 Maret 2022   02:33 Diperbarui: 28 Maret 2022   06:01 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada 31 Desember 2019, media Komisi Kesehatan Kota Wuhan menyatakan adanya virus pneumonia, yang selanjutnya disebut sebagai virus Covid-19 di Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok. Virus tersebut diduga berasal dari kelelawar yang menginfeksi manusia, namun yang pasti virus tersebut memiliki tingkat penularan dan risiko kematian yang tinggi. Hingga pada bulan Maret 2020, Indonesia menjadi salah satu negara yang terinfeksi Covid-19. Penularan virus Covid-19 di Indonesia dimulai dari seorang warga negara Indonesia berusia 31 tahun yang tertular virus Covid-19 setelah kontak langsung dengan warga negara Jepang di acara klub dansa Paloma & Amigos di kawasan Jakarta. Penularan virus Covid-19 terjadi sangat cepat mulai dari pasien pertama, ibunya, lalu pasien-pasien lain yang juga terinfeksi di acara klub dansa Paloma & Amigos.

Walaupun sempat terjadi panic buying karena melihat adanya karantina wilayah di Wuhan dan mungkin diterapkan di Indonesia, mulanya masyarakat Indonesia tidak menganggap Covid-19 sebagai virus yang berbahaya. Bahkan virus ini dianggap sebagai virus biasa dan dijadikan lelucon di media sosial. Tetapi, pada 31 Maret 2020, virus Covid-19 telah menginfeksi 174.796 jiwa. Di mana 7.417 pasien meninggal dunia dan 125.959 jiwa lainnya dinyatakan sembuh. Meskipun demikian, penularan tetap terus terjadi dan memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat. Sekolah dan universitas terpaksa diliburkan sementara, beberapa perusahaan dan pabrik bahkan harus berhenti operasi dan melakukan karantina akibat adanya pekerja yang terinfeksi. Sampai akhirnya, pertambahan jumlah pasien yang terinfeksi berlangsung begitu lama dan hampir seluruh kegiatan, seperti belajar, bekerja, dan beribadah harus dilakukan secara daring (online) di rumah saja.

Virus Covid-19 memiliki tingkat penyebaran yang tinggi karena dapat menular melalui udara dan bahkan tetesan kecil (droplet) air liur. Cara pencegahannya pun terbilang mudah, masyarakat hanya perlu memastikan untuk selalu mencuci tangan sebelum makan, memakai masker, menjaga jarak, dan menjaga daya tahan tubuh. Tetapi, tidak sedikit orang yang menyepelekan upaya pencegahan ini. Tidak hanya itu, banyak pula masyarakat yang tidak mempercayai akan bahaya dari virus Covid-19. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya hoaks dan teori konspirasi mengenai virus Covid-19 yang bertebaran di media sosial kala itu. Sehingga, tidak heran jika jumlah pasien yang terinfeksi virus Covid-19 terus meningkat.

Hal ini tentunya menjadi isu dan menimbulkan perdebatan di antara para ahli tentang apa yang harus diutamakan lebih dulu, kesehatan atau ekonomi? Pemerintah pun tampak enggan untuk membuat kebijakan yang memihak di antara salah satunya. Sampai akhirnya, kebijakan pemberlakuan pembatasan kebijakan masyarakat (PPKM) diterapkan pada 11 Januari 2021 di daerah Jawa dan Bali. Kebijakan ini diterapkan setelah adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sebagian wilayah, tetapi jumlah pasien yang terinfeksi dan meninggal terus bertambah di seluruh Indonesia.

Baik pembatasan sosial berskala besar (PSBB), maupun pemberlakuan pembatasan kebijakan masyarakat (PPKM), keduanya sama-sama mengatur tentang kapasitas kegiatan yang boleh dijalankan selama kebijakan berlangsung. Adapun hal yang diatur seperti kegiatan belajar, beribadah, dan bekerja yang hanya boleh dilakukan dari rumah, pembatasan jam buka mal, pembatasan kegiatan restoran, dan lain-lain.

Adanya kebijakan yang membatasi aktivitas manusia ini, tentunya akan berdampak pada kegiatan ekonomi. Sebab, dalam menggerakkan roda ekonomi, diperlukan 3 peran, yaitu produksi, konsumsi, dan investasi. Jika kegiatan dan ruang gerak masyarakat dibatasi, sudah pasti jumlah konsumsi akan berkurang. Berkurangnya konsumsi masyarakat akan mengurangi pendapatan perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa. Pendapatan perusahaan yang berkurang akan menurunkan kemampuan perusahaan dalam menjalankan operasional dan membayar karyawan. Lalu, seperti yang dapat dilihat, perusahaan pun terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan dan jumlah produksi. Menurunnya jumlah produksi perusahaan pun akan memberikan dampak yang sama terhadap perusahaan yang menyuplai bahan baku. 

Dari penjabaran di atas dapat dilihat bahwa sebuah tindakan mengurangi jumlah konsumsi secara masif dapat memberikan efek domino yang pada akhirnya menyebabkan krisis ekonomi dan berisiko meningkatkan tingkat kriminalitas akibat meningkatnya tingkat pengangguran. 

Sehingga, tidak heran jika di dalam bukunya yang berjudul Innovation Management and Product Development, Paul Trott mengatakan bahwa krisis ekonomi menyebabkan perusahaan-perusahaan mengurangi biaya investasinya, termasuk investasi pada inovasi yang mana imbal hasilnya tidak dapat dipastikan dan memerlukan jangka waktu yang panjang. Tetapi, tentunya hal ini tidak berlaku pada semua industri. Sebab, saat krisis ekonomi terjadi, ada industri yang terdampak dan melemah, dan sebaliknya ada pula industri yang justru bangkit dan bersinar.

Pada krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi, dapat dilihat bahwa industri pariwisata, perhotelan, penerbangan, mal dan lain-lain sempat mengalami keterpurukan. Tetapi, di sisi lain, industri kesehatan, telekomunikasi, logistik, dan e-commerce tumbuh bersinar. Adanya perbedaan kondisi ini tentu akan mempengaruhi keberanian perusahaan dalam mengambil langkah berinovasi. Industri perusahaan yang diuntungkan dari krisis ekonomi cenderung akan lebih berani dalam berinovasi karena melihat adanya peluang. Tidak hanya itu, meningkatnya penghasilan yang diperoleh perusahaan setelah terjadi krisis juga menjadi pengaman (safety net) bagi perusahaan untuk berinovasi.

Bagi perusahaan yang berada pada industri yang melemah, sudut pandangnya tentu akan berbeda. Mereka akan cenderung berfokus pada mempertahankan apa yang sudah ada, seperti operasional perusahaan dan karyawan, dibandingkan dengan melakukan investasi untuk menciptakan inovasi baru. Walaupun tidak jarang, untuk bertahan perusahaan tetap berusaha menciptakan inovasi yang tidak membutuhkan biaya dan sumber daya yang besar.  Karena untuk menciptakan inovasi baru, ada risiko kegagalan yang dapat terjadi. Risiko tersebut kemudian semakin diperparah dengan rendahnya safety net perusahaan karena penghasilan yang menurun drastis. 

Berikut ini adalah contoh dari inovasi-inovasi yang dihasilkan perusahaan dalam menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi.

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun