Mohon tunggu...
Elektron Bebas
Elektron Bebas Mohon Tunggu... Ilmuwan - Bukan bot

Seseorang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menelaah Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS (Bagian 2)

7 November 2019   16:42 Diperbarui: 7 November 2019   17:11 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Peran pemerintah di kedua sistem ekonomi tersebut berbeda besarnya, namun pemerintah yang kompeten sama-sama diperlukannya, baik di kapitalisme untuk mengetahui apa dan kapan pasar perlu diintervensi, maupun sosialisme untuk menentukan perencanaan produksi, alokasi sumber daya, dan pembagian hasil produksinya.

Dalam sistem kapitalisme yang paling liberal, pemerintah dituntut bekerja sebagai penegak aturan dan mengintervensi pasar seminimal mungkin. Contohnya buku. Pemerintah Amerika tidak bekerja dalam menentukan buku mana yang diterbitkan, buku mana yang boleh dijual maupun dibeli, maupun harga dan jumlahnya. Sejak 1966 Pemerintah mereka sudah tidak melarang peredaran buku apapun, fokus pekerjaannya hanya menegakkan hukum atas pembajakan dan pelanggaran hak cipta ... yang sepertinya malah kebalikan dengan pemerintah kita.

Di sisi lain, beberapa pasar memang perlu diintervensi pemerintah, contohnya obat-obatan. Perusahaan farmasi dalam meneliti obat selalu mempertimbangkan besar kecilnya pasar karena ongkos R&D yang mahal. Tahun 2001, dari semua negara di daerah tropis, hanya tiga negara yaitu Hong Kong, Singapore, dan Taiwan yang termasuk negara kaya menurut Bank Dunia.

Mayoritas adalah negara miskin, dengan rakyat berpenghasilan rendah. Biaya riset obat sendiri mahal, sampai bisa disahkan untuk dilempar ke pasar rata-rata 350 juta dolar. Mungkin itulah kenapa kita punya obat untuk Alzheimer pada anjing tapi tidak punya obat definitif untuk banyak sekali penyakit daerah tropis. Besarnya permintaan memberi sinyal kepada pabrik farmasi produk apa yang harus dibuat. Itulah mekanisme pasar.

Pemerintah yang kompeten tahu kapan harus mengintervensi pasar di saat mekanisme pasar gagal. Contohnya keluhan penduduk Amerika dengan penyakit langka, seperti ALS, Huntington, maupun Wilson's disease dulu yang kesulitan pengobatan. Problemnya penyakit langka berarti pangsa pasar yang kecil, membuat penyakit-penyakit itu tidak menarik secara finansial untuk diteliti obatnya.

Karenanya tahun 1983 pemerintah Amerika melakukan intervensi melalui Orphan Drug Act, di mana untuk penyakit yang diderita kurang dari 200.000 warga Amerika, perusahaan farmasi yang meneliti dipermudah untuk syarat clinical trialnya (penyakit yang langka membuat uji coba klinis diberi kelonggaran dalam jumlah sampel), diberikan hak paten eksklusif selama 7 tahun, potongan pajak, hingga subsidi penelitian. Dalam sekejap orphan drug di pasar meningkat dari kurang dari 10 sebelum 1983 menjadi 353 obat sampai tahun 2010.

Benar, dengan hak eksklusif itu, obat-obatan penyakit langka kemudian dikritik menjadi mahal sekali. Tapi tanpa fasilitas eksklusif itu, obat-obatan itu tidak akan pernah ada. Bisa tenang? Tidak. Kini masalah yang diteliti pemerintah mereka menjadi benarkah obat itu memiliki efikasi yang menjustifikasi harganya.

Dalam sosialisme yang terpusat peran pemerintah jauh lebih besar. Pemerintah menentukan penilaian target yang akan dicapai, alokasi sumber daya untuk mencapainya, kebutuhan pasar, dan lain-lain. Pemerintah menentukan, berapa mobil yang akan dibuat, siapa saja yang akan mendapatkan, berapa alokasi besi dan bahan-bahan untuk membuatnya, berapa pekerjanya, secara mendetail. Pada beberapa hal yang mereka fokuskan, mereka amat berhasil.

Uni Soviet berhasil mengirim orang pertama ke luar angkasa, Yuri Gagarin, karena mereka fokus dalam space race dengan Amerika. Mereka membanggakan diri karena berhasil mengejar teknologi Amerika dalam waktu singkat. Namun untuk pemerintah Soviet, KB itu tidak penting. Mereka tidak memproduksi pil KB, dan separuh kondom yang mereka produksi bocor. Untuk KB, wanita Soviet pun beralih ke aborsi, dengan rata-rata pada usia 40 tahun setiap wanita Soviet sudah menjalani delapan kali aborsi.

Kesulitan dalam ekonomi terpusat semakin menonjol seiring pertumbuhan ekonomi menjadi makin kompleks. Tidak ada cara memprediksi kebutuhan, mengalokasi sumber daya, dan membagi hasilnya yang akurat 100% dan bisa kontinu memperbaiki sistemnya sendiri. Semakin ekonomi tumbuh, semakin banyak variabel yang harus diperhitungkan, semakin sulit perencanaannya.

Soal makanan saja, yang merupakan kebutuhan primer, sistem terpusat bisa gagal dengan dramatis. Insiden kelaparan yang menimbulkan kematian paling besar di abad 20 hampir semua terjadi di negara sosialis, meski juga ada faktor perang, politis, dll. Mungkin itu sebabnya hampir semua negara sekarang beralih ke kapitalisme.  (entah kenapa saya ingat kisah Nabi Sulaiman mencoba memberi makan semua hewan)

(Apakah kapitalisme ala Amerika sudah paling baik? Arguably not. Parameter yang digunakan PBB untuk mengukur perkembangan suatu negara adalah HDI, Human Development Index. Idenya sederhana. Manusia yang ideal adalah manusia yang bisa melakukan banyak hal atau menjadi apa yang dia mau. Tidak terhalang penyakit, kebodohan, ataupun kemiskinan. Dia harus sehat (usia harapan hidupnya tinggi), cerdas (tingkat pendidikannya tinggi), dan mampu (penghasilan perkapitanya tinggi).

Dalam indeks ini, maupun indeks pengembangannya (IHDI, yang memperhitungkan juga kesenjangan HDI antar penduduk), yang teratas bukanlah Amerika, tapi negara-negara Skandinavia. Sistem ekonomi mereka kapitalisme, mekanisme pasar, namun dengan jaminan sosial dan keterlibatan negara yang besar. Redistribusi penghasilan dengan pajak yang tinggi (20-60%) mencegah kesenjangan akibat kapitalisme. Kita bisa membahas panjang lebar Nordic model, namun dikotominya akan membingungkan, lebih mudah membahas sistem ekonomi dari kedua ujung)

Sebelum kita memuja-muja dan menerapkan kapitalisme untuk setiap sisi kehidupan, coba kita lihat dari sisi sistem kesehatan, dengan tenaga medis, alat, sarana dianggap sebagai sumber daya dan kesehatan warga sebagai produk akhirnya. Ada Amerika Serikat, di mana pembiayaan didominasi asuransi swasta dan tidak ada sistem universal healthcare seperti BPJS.

Biaya kesehatan melambung, tenaga medis berpenghasilan tinggi dan bebas berpraktek di manapun namun akhirnya juga terpusat di kota. Pemerintah mesti mengeluarkan uang besar untuk memberikan semacam tunjangan dokter di tempat terpencil. Banyak yang tidak mampu mengakses sistem kesehatan karena tidak punya biaya, hingga 18% populasi dewasa di sana tahun 2013 tidak punya asuransi (sebelum penerapan Obamacare). Belum lagi pelayanan kesehatannya yang disebut termahal di dunia dengan performa terburuk di antara negara-negara maju. Sengsara untuk menjadi orang sakit di sana.

Di ujung lain spektrum ada Kuba, di mana kesehatan dijamin gratis untuk semua warganya tanpa harus membayar asuransi, persebaran dokter diatur pemerintah dan dibayar rendah, hanya maksimal dua kali penghasilan rata-rata penduduk, dengan gaji tertinggi 67 dolar sebulan tahun 2017, namun angka harapan hidup dan statistik kesehatan lain jauh lebih baik dari Amerika Serikat. Banyak dokter yang bekerja tambahan, menjadi pelayan, sopir taksi, tour guide yang bisa mendapat tips dari turis. 

Di sana tenaga medis dikelola oleh pemerintah tanpa kebebasan individu, bisa dikirim ke daerah sendiri, atau dikirim ke negara lain sebagai tim bantuan medis atau untuk tenaga kerja dan menghasilkan devisa bagi negara (devisa Kuba dari dokter ini pernah mencapai 10 miliar dolar setahun, 75%-nya masuk ke negara) seperti kerjasama dengan pemerintah Venezuela atau Brazil untuk mengisi daerah pelosok Amazon (kebijakan luhur yang diobrak-abrik presiden baru Brazil yang beraliran kanan jauh). Sebagian dari delapan ribu dokter Kuba di Brazil menolak pulang karena merasa diperbudak tanah airnya, merasa sengsara untuk menjadi dokter di sana. Sawang sinawang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun