Di pamaviue, angin dingin turun diam-diam,Menyapu kabut yang menggantung malu di pucuk bukit, daun-daun gemetar memeluk batang, menyimpan doa dari embun semalam yang jatuh pelan pada rerumputan basah, seperti pelukan Tuhan pada anak-anaknya yang  lelah.
Di sana, waktu berjalan lebih pelan, suara sungai memanggil pulang kepada jiwa-jiwa yang lelah berjuang kepada hati yang penuh luka dan bertanya, kepada langkah-langkah yang pernah goyah membawa kembali semangat yang hampir padam.
Tubuh menggigil tanpa selimut hangat, tapi hati terasa lebih dekat pada damai, ketika suara tawa teman menggema ketika obrolan sederhana terasa berarti, ketika secangkir kopi panas membasuh dingin, dan pandangan mata saling bercerita diam-diam.
Di tepian sungai itu, kami duduk berjajar, kaki telanjang menyentuh batu dingin, mata memandang air yang beriak pelan, mencoba mendengar cerita yang dibisikkan angin, tentang rindu yang belum sempat disampaikan, tentang mimpi yang masih terpendam tentang hati yang masih belajar percaya lagi.
Pamaviue, tempat dingin merayap ke tulang, namun hangat terasa sangat genggaman tangan erat saat senyum menghapus takut, saat mata saling memahami tanpa kata, saat kita sama-sama dia namun mengerti.
Kabut tebal menutup pandangan, membiarkan kita belajar melihat dengan hati, belajar mendengar dengan keheningan, belajar mengerti dengan luka yang telah sembuh perlahan, belajar mengucap syukur meski sederhana.
Tanda-tanda berbaris di rerumputan hijau, menjadi saksi malam panjang penuh cerita, tentang masa depan yang kita harapkan, tentang langkah-langkah berani yang ingin kita ambil, tentang cinta yang masih kita doakan diam-diam.
Apakah kau tahu rasanya duduk di sana, menggigil bersama, namun tidak ingin pulang? Karena dipamevieu, ada kehangatan yang tak terlihat, dalam tawa yang tulus, dalam obrolan tengah malam, dalam doa yang diam-diam terucap dalam hati.
Di pamaviue, kita belajar pulang diri sendiri, belajar bahwa dingin bukan berarti sepi, belajar bahwa lelah bukan berarti berhenti belajar bawa hangat bukan hanya dari  matahari, tetapi juga dari doa, tawa, dan cerita.
Di sana, kita menyadari bahwa hidup adalah perjalanan, dan setiap dingin yang kita rasakan akan berganti hangat, bahwa setiap tangis akan berganti tawa, bahwa setiap luka akan berganti sembuh, dan setiap pertemuan adalah hadiah yang tak ternilai.
Pamaviue, tempat kita belajar percaya lagi, tempat kita belajar tertawa lebih tulus, tempat kita belajar mengucap syukur, meski hanya untuk udara dingin yang kita hirup, meski hanya untuk hujan yang turun tiba-tiba.