Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kenapa Saya Benci Sekali Buku Paket Diknas

29 Desember 2021   17:20 Diperbarui: 29 Desember 2021   17:53 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tribunnews.com

Laporan mengenai rendahnya kemampuan membaca dan mengolah informasi orang Jakarta sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut diperparah dengan temuan mengapa temuan tingginya tendensi orang Indonesia untuk menyebar hoax, parahnya lagi tingkat pendidikan ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap tendensi penyebaran hoax orang Indonesia.

Studi OECD terkait kemampuan membaca orang Jakarta adalah 70% orang Jakarta hanya mencapai level 1 atau di bawahnya: Hanya mampu membaca tulisan pendek, mengenai topik yang familiar, untuk mengetahui satu informasi spesifik.

Sebagai perbandingan, tingkat paling tinggi (level 4 atau 5) dapat mengintegrasikan, interpretasikan, dan mensintesa informasi dari teks yang panjang dan kompleks dengan informasi kondisional atau bertolak belakang.  

Disklaimer, saya tidak memiliki latar belakang ilmu pendidikan, dan tulisan ini tidak ditulis dengan kaidah ilmiah. Tapi saya punya satu tesis terkait fenomena tersebut yang mungkin bisa ditelusuri lebih lanjut, karena selama SMA saya sekolah di sekolah yang menggunakan dua kurikulum jadi saya punya pengalaman mengenai kurikulum di Indonesia dan asing.

Dalam dunia nyata memahami teks yang panjang dan kompleks dengan informasi kondisional atau bertolak belakang tentu sangat penting. Menurut saya hal itulah yang banyak menghilang di negara kita.

Saya ingat sekali bagaimana para pendukung Omnibus Law berkoar-koar tentang Ease Of Doing Business (EODB) World Bank. Saya selalu cengengesan ketika menanyakan apa yang diukur, bagaimana metodologinya, dan angka apa yang direpresentasikan oleh EODB, dalam berbagai diskusi hal tersebut jarang terjawab. 

Apakah EODB adalah parameter atau ranking yang valid. Tapi apakah itu satu-satunya ranking yang relevan terkait kemudahan berbisnis, tidak. Apakah itu pasti menjadi masalah yang dihadapi Indonesia, ternyata tidak juga. Bahkan ekonom top UI, Faisal Basri melabel kebijakan Omnibus Law sebagai “Wrong diagnosis is very dangerous, creating wrong policy problem” dalam blog pribadinya.

Kita sangat peduli dengan “ranking” dan menjadikan ranking sebagai dasar pengambilan kebijakan, tanpa peduli apa yang ranking tersebut representasikan, apakah ranking tersebut merupakan akar masalah di negara kita, dan apakah ada ranking yang lebih valid.

Contoh lainnya adalah dalam pelajaran sejarah, saya ingat sekali hampir seluruh guru akan mengajarkan kalau kita dijajah 350 tahun. Padahal data tersebut merupakan data yang sangat kondisional, kalau anda berbicara itu di Jawa itu angka yang valid, kalau anda ke Aceh anda akan ditertawakan, atau setidak-tidaknya orang tahu anda orang dari Pulau Jawa. Lebih lanjut, angka tersebut gagal memahami konteks hubungan kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan Belanda. Baca lebih lanjut tulisan G.J. Resink terkait hal tersebut.

Apakah hanya soal humaniora, tidak juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun