Karena kekerasan seksual belum diatur secara khusus, maka selama ini hukum acaranya mengacu pada KUHAP. Hal tersebut pula yang dikritik dalam naskah akademik RUU P-KS, karena KUHAP memiliki proses pembuktian yang cenderung lebih sulit untuk melindungi tersangka dan terdakwa. Paradigma KUHAP yang dirancang untuk melindungi terdakwa dan tersangka sebenarnya tidak salah, karena perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa merupakan hal yang penting dalam hukum.Â
Hal yang menjadi permasalahan adalah karena tindakan kekerasan seksual cenderung sulit untuk dibuktikan, selayaknya tindak pidana korupsi. Sehingga hukum acara pidana konvensional cenderung sulit untuk memungkinkan pembuktian, dan pada akhirnya sulit menimbulkan rasa keadilan. Maka, tidak heran apabila Undang-Undang yang mengatur tindak pidana korupsi memberi serangkaian pengaturan yang mempermudah pembuktian, hal tersebut jugalah yang diupayakan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Secara umum alat bukti berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Patut dipahami bahwa alat bukti tersebut memiliki limitasi, keterangan satu saksi hanya dapat dianggap sebagai bukti apabila disertai alat bukti yang lainnya atau terdapat setidaknya dua saksi, sehingga sangat sulit untuk membuktikan suatu perkara yang hanya memiliki satu saksi. Sebenarnya keberadaan satu saksi, dapat diperkuat dengan keterangan  korban, namun dalam pembuktian melalui KUHAP seringkali terbentur karena keterangan korban terkadang tidak dipertimbangkan oleh hakim. Bahkan seringkali keterangan saksi tersebut dihubungkan dengan hal-hal yang tidak relevan seperti perilaku, cara berpakaian, sampai kelua rumah di malam hari, yang menjurus pada victim blaming.
Selain itu, terdapat pembatasan misalnya keluarga atau semenda sampai garis tertentu, saudara terdakwa, dan suami istri hanya bisa bersaksi apabila bersedia, dan disetujui penuntut umum dan terdakwa. Sehingga akan sangat mempersulit pembuktian kasus kekerasan seksual di ranah-ranah keluarga seperti marital rape.
Persoalan lain yang juga muncul adalah hakim yang tidak mempertimbangkan keterangan psikolog sebagai alat bukti dalam pengadilan. Hal tersebut tentu menyulitkan pembuktian, sebab keterangan dokter, yang selama ini secara universal diakui sebagai alat bukti oleh hakim kerap kali sulit memberikan bukti dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Sehingga, pengakuan hukum secara tegas atas kekuatan keterangan Psikolog dalam pembuktian dapat menjadi alat bukti yang krusial dalam kasus-kasus kekerasan seksual.Â
Maka tidak heran apabila RUU P-KS memperluas alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44-45 RUU tersebut:
Â
"Pasal 44Â
(1) Alat bukti dalam pemeriksaan pada setiap tahapan perkara Kekerasan Seksual dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.Â
(2) Alat bukti lain yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. surat keterangan psikolog dan/atau psikiater;
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!