Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Financial Fair Play, Regulasi yang Menjegal City

14 Juli 2020   20:24 Diperbarui: 15 Juli 2020   00:19 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.manchestereveningnews.co.uk/

Siapa yang tidak ingat gol menit terakhir Sergio Kun Aguero di Etihad melawan QPR pada 13 Mei 2012. Gol yang banyak digadang-gadang sebagai pertanda era baru sepak bola Inggris, dengan Machester Biru sebagai raksasa. 

Namun, pada artikel ini saya tidak akan berbicara mengenai gol yang bakal selalu dikenag oleh fans City puluhan tahun ke depan. Melainkan, sebuah kemenangan penting City yang mungkin akan lebih dikenang oleh fans rival daripada City. Yup kemenangan telak City terhadap UEFA di Court of Arbitration for Sport (CAS), yang menurut saya bahkan lebih penting daripada gol Aguero.

Financial Fair Play?

Kasus yang menjegal The Cityzen adalah perkara Financial Fairplay, sebelum membahas bagaimana City melanggarnya, tentu menarik untuk membahas latar belakang sejarah dan substansi dari regulasi tersebut.

Banyaknya tim yang kolaps karena managemen keuangan yang kacau, dan banyaknya pemilik tim yang menyuntikan dana seperti pesepeda menyuntik doping, itulah realita industri sepak bola pada era 2000an mulai mengkhawatirkan banyak pihak. 

Banyak tim besar tidak beruntung yang kolaps karena utang dan pengeluaran yang sembarangan sebut saja Parma dan Portsmouth, tim besar Italia dan Inggris yang bahkan beberapa tahun sebelumnya sempat menyabet gelar domestik. Cerita yang lebih horor mungkin bagaimana raksasa Skotlandia yang juga pemegang titel terbanyak, Glasgow Rangers, bisa kolaps perkara duit.

Sementara, kasus tim yang didoping uang oleh sang pemilik bukan perkara Chelsea, PSG, dan City saja. Bahkan tim yang kuat secara tradisional juga memiliki tendensi yang sama, selama medio 2000-an AC Milan yang sedang berada di era keemasan lebih bertindak seperti "mainan"daripada "perusahaan" Silvio Berlusconi. 

Bagaimana tidak, pada era keemasannya saja Milan tetap mencetak neraca defisit akibat kombinasi tidak punya stadion, reklutmen pemain yang boros, dan manajemen yang berantakan. 

Tentu permasalahan baru mencuat ketika uang pergi bersama dengan angkat kakinya Berlusconi, namun kultur manajemen yang buruk masih melekat. 

Kombinasi perubahan regulasi, "sugar daddy" yang hilang, reklutmen yang masih mubazir, dan manajemen yang masih bermasalah membuat Milan hanya jadi tim medioker Italia,  yang perlu banyak belajar untuk bisa kembali berjaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun