Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

DPR Pasca 22 Tahun Reformasi: Dari Tukang Stempel Presiden Jadi Tukang Bikin Perkara MK

22 Mei 2020   21:14 Diperbarui: 22 Mei 2020   22:24 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/070000669/peristiwa-penting-era-reformasi?page=all

Menariknya, pasal tersebut diuji konstitusionalitasnya dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan perdebatan apakah Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan Undang-Undang yang mengatur tentang dirinya. Terlepas dari itu, dengan membatalkan norma tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat dirinya dapat membuat norma-norma baru atas undang-undang atau pasal yang dibatalkan olehnya.

Sayangnya, kewenangan tersebut seringkali dijadikan alasan oleh anggota dewan untuk "lari dari tanggung jawab" untuk menyusun undang-undang yang baik. Misalnya paska dikritik habis-habisan soal Undang-Undang MD3, Fadli Zon menyatakan:

"Kami melihat ada saluran bagi pihak yang menginginkan dilakukan JR (judicial review) terhadap pasal tertentu, meskipun semangat pasal itu bukan berarti antikritik, tetapi persoalan kalau ada penghinaan terhadap lembaga yang memang di luar negari ada juga itu,"

Saat diuji, benar saja, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pasal "merendahkan martabat anggota dewan" merupakan pasal yang inkonstitusional. Mahkamah mengabulkan permohonan dalam putusan No. 16/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh FKHK, Dr. Husdi Herman, S.H, M.M, dan Yudhistira Rirfy Darmawan. Yang menarik, adalah banyak orang mengira bahwa Mahkamah Konstitusi menerima permohonan Zico Leonard dan Josua Collins, padahal dalam Putusan No. 18/PUU-XVI/2018, padahal mahkamah menyatakan bahwa permohonan tersebut kehilangan objek karena telah diputus dalam putusan sebelumnya.

Hal yang serupa juga dikatakan oleh ketua Panja RUU Minerba, Bambang Wuryano yang alih-alih menjelaskan mengenai pasal-pasal bermasalah dalam RUU Minerba justru menyatakan:

"Kalau enggak cocok, lakukan judical review. Enggak perlu memborbadir Whatsapp ke anggota panja. Mohon maaf. Enggak perlu teror,"

Pernyataan ini, dalam pandangan penulis pernyataan tersebut lucu. Wajar saja publik membombardir Whatsapp anggota dewan, karena pembahasan dilakukan pada masa pandemi sehingga tidak memungkinkan bentuk penyampaian pendapat lain seperti aksi masa. Terlebih lagi, sebagaimana dibahas diatas, RUU Minerba dinilai masil memiliki pasal-pasal bermasalah ketika disahkan.

Begitu pula dengan pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco terkait Perppu No. 1 Tahun 2020:

"Menurut saya lebih bagus kalau ada yang tidak setuju dengan Perppu itu kemudian, melakukan upaya-upaya hukum yang real seperti misalnya, judicial review untuk menyalurkan aspirasinya,"

Yang dalam pandangan penulis justru menunjukan bahkan anggota dewan selevel Wakil Ketua DPR RI sekalipun, gagal memahami fungsi lembaganya.  

Kultur tersebut tentu bermasalah, penulis sepakat dengan pendapat ahli Hukum Tata Negara, Refly Harus dalam penjelasannya mengenai Pengujian Undang-Undang. Menurutnya undang-undang yang buruk belum tentu inkonstitusional. Hal tersebut masuk akal, beban pembuktian di Mahkamah Konstitusi adalah apakah sebuah undang-undang sesuai dengan konstitusi atau tidak, yang cakupannya tentunya lebih kecil daripada membahas apakah sebuah undang-undang baik atau buruk. 

Putusan Mahkamah Konstitusi, pun dalam konteks positive legislatuer, juga cenderung terbatas dibandingkan opsi pembentukan undang-undang yang sehat dan partisipatif. Melalui penyusunan rancangan udang-undang yang sehat dan partisipatif berbagai aspirasi publik dan pendapat ahli dapat ditampung untuk menjadi sebuah undang-undang yang lebih baik secara komperhensif. Belum lagi mempertimbangkan, mengubah beberapa pasal melalui pengujian undang-undang mungkin hanya akan menimbulkan perbaikan yang parsial.

Apabila dilihat secara etis, mempertimbangkan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan Undang-Undang, seharusnya DPR dan Presiden malu apabila ada orang yang mengajukan judicial review. Hal paling aneh adalah ketika DPR sadar bahwa ada banyak orang yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena sebuah RUU, namun tetap memaksa mengesahkannya. Berbagai rekomendasi judicial review dari anggota dewan maupun pemerintah justru menunjukan mereka sadar ada hak yang dilanggar namun tetap mengesahkan undang-undang.

Apalagi, sampai sekarang penulis belum pernah melihat anggota dewan atau Presiden yang meminta maaf apabila sebuah undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bukankah ketika sebuah judicial review dikabulkan, produk hukum dari DPR dan Presiden terbukti melanggar hak konstitusional rakyatnya, atau memang melanggar hak konstitusional bukanlah sesuatu yang memalukan di mata pejabat Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun