Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

DPR Pasca 22 Tahun Reformasi: Dari Tukang Stempel Presiden Jadi Tukang Bikin Perkara MK

22 Mei 2020   21:14 Diperbarui: 22 Mei 2020   22:24 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/070000669/peristiwa-penting-era-reformasi?page=all

Ironi Pembentukan Undang-Undang Dua Tahun Ke Belakang

Dewan Perwakilan Rakyat kita memang tidak sepasif pada era orde baru. Pada Era Orde Baru, anggota dewan begitu pasif sampai pasca pemilu 1971 tidak ada satupun undang-undang yang menjadi usul inisiatif anggota dewan. DPR juga dinilai hanya menjadi "tukang stempel" karena hanya menyetujui dan mengesahkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Hal tersebut sangat kontras dengan Prolegnas 2020, dimana 39 rancangan undang-undang diajukan oleh DPR, 13 oleh Pemerintah, dan 1 oleh DPD.

Namun, dalam praktinya tindakan DPR untuk membahas RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah pada masa pandemi tentu perlu mendapat kecaman keras. Selain karena materi muatannya yang bermasalah, pembahasan pada masa pandemi secara otomatis mengurangi kesempatan partisipasi publik. Hal tersebut menunjukan bahwa, toh pasca reformasi DPR juga masih gagal untuk menampung aspirasi masyarakat untuk menyortir rancangan undang-undang yang bermasalah dari pemerintah.

Lebih lanjut, makin banyaknya rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR ternyata tidak otomatis membuat penyusunan undang-undang "lebih mewakili rakyat". Aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu melakukan penolakan pada banyak rancangan undang-undang yang dinilai bermasalah. Sayanya tiga diantaranya sudah disahkan menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Sumber Daya Air, Revisi Undang-Undang KPK, dan Undang-Undang Minerba. Fakta yang menarik adalah bahwa ketiga undang-undang bermasalah tersebut, seluruhnya merupakan usul anggota dewan.

Pasca didemo, Revisi Undang-Undang KPK masih memuat beragam pasal yang dinilai publik bermasalah seperti keberadaan dewan pengawas dan kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan. Begitu juga dengan Undang-Undang Minerba yang disahkan oleh DPR pada masa pandemi juga menuai banyak kritik terkait keberadaan pasal-pasal yang bermasalah.

Tidak hanya itu, beberapa rancangan undang-undan bermasalah lainnya juga merupakan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR seperti RUU Pertanahan, RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama merupakan usul dari DPR. Sementara RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan yang juga menuai banyak kritik merupakan usul Pemerintah dan DPR.

Pada sisi lain, DPR masih belum berhasil mengesahkan, bersama presiden, undang-undang usulannya yang diharapkan oleh publik seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Hukum Adat.

Mungkin benar, bahwa DPR bukan lagi tukang stempel presiden dan sudah mulai aktif dalam pengusulan rancangan undang-undang. Namun, pencapaian DPR dalam dua tahun kebelakang masih sangat mengecewakan. Ekspektasi publik yang tinggi dengan semakin aktifnya DPR justru membuahkan beberapa undang-undang bermasalah, dan gagal mengesahkan undang-undang yang diharapkan.

Biang Perkara di Mahkamah Konstitusi 

https://www.vivanews.com/berita/metro/9220-ribuan-mahasiswa-tumplek-blek-di-dpr-nyayian-lagu-25jigo-menggema
https://www.vivanews.com/berita/metro/9220-ribuan-mahasiswa-tumplek-blek-di-dpr-nyayian-lagu-25jigo-menggema
Salah satu lembaga baru yang muncul pasca reformasi adalah Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kini, masyarakat yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah undang-undang.

Peran Mahkamah Konstitusi dalam pembentukan norma apakah sebagai Negative Legislature atau Positive Legislature sendiri merupakan perdebatan yang menarik. Pada satu sisi Mahkamah Konstitusi didorong oleh DPR untuk negative legislature dimana putusan Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya untuk membatalkan undang-undang atau pasal. Pasal 57 ayat (2a) Revisi Undang-Undang Mahkamah Kontitusi No.8 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

"putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun