Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Berlari dengan Sepatu yang Berbeda #1: Transisi Besar (dan Kasar) Liga Indonesia

9 Mei 2020   19:55 Diperbarui: 11 Mei 2020   03:46 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi | sumber: (KOMPAS / AGUS SUSANTO)

"Komersialisasi sepak bola Indonesia memang belum sepenuhnya matang, sepertinya masih sangat jauh bagi kita untuk melihat tim-tim sepakbola kota kita untuk tidak hanya sebagai institusi yang bermain bola, tetapi sebagai institusi bernilai jutaan dolar seperti klub Liga Inggris. 

Komersialisasi sepak bola dengan menempatkan tim sebagai institusi bisnis memang menjanjikan, lihat saja hampir tidak pernah ada klub dari Negara Blok Timur yang menjuarai Liga Champions. Sementara tim dari Negara Blok barat seperti Jerman Barat, Inggris, dan Spanyol bisa mendatangkan pemain-pemain terbaik dunia.

Liga 1 mungkin era pertama sepak bola Indonesia dimana klub benar-benar harus mandiri dari APBD, bolak-balik mencari sponsor, bermain di stadion berstandar, dan berupaya mendongkrak nilai komersilnya. Sepakbola tidak lagi kebijakan pemda dan supporter, norma sepak bola moderen adalah dimana ada kapital disitu ada sepak bola. 

Semenjak dimulai pada tahun 2017, Liga 1 semakin menjadi liga untuk tim-tim dari Wilayah Barat Indonesia partisipasi tim dari timur Selat Makasar terus menurun. Pada Pagelaran 2020 hanya PSM Makasar dan Persipura Jayapura yang berasal dari timur Selat Makasar,berkompetisi dengan dua tim yang berkompetisi yang "dirampok" dari Papua dan dipaksa bermain di Sumatera dan Jawa.

Hidup dan matinya tim bola, dan persebaran tim kompetitif Indonesia tidak hanya menggambarkan dampak dari komersialisasi sepak bola, tetapi juga gambaran kesenjangan antar wilayah negeri kita. 

Mungkin industrialisasi bola kita teralu menganggap semua tim diberkahi pemda yang tajir seperti kota-kota di Kalimantan Timur untuk membangun stadion, pupulasi besar untuk menciptakan pendapatan tiket seperti Jakarta dan Bandung, atau mendapatkan perhatian dari media seperti semua tim di Jawa. 

Saya akan membahasnya dalam serial artikel "Berlari Dengan Sepatu yang Berbeda" untuk membedahnya, tidak semua artikel saya unggah minggu ini karena belum semuanya selesai, jadi kalu berminat mengikuti silakan follow akun ini."

Transisi Besar (dan Kasar) Liga Indonesia

Liga Indonesia mengalami transisi yang cepat dan tidak bisa dibilang mulus dalam tiga dekade terakhir dengan beberapa perubahan signifikan dari mulai format liga sampai bagaimana tim mendanai dirinya sendiri. 

Dalam sejarahnya, format kompetisi wilayah sempat mendominasi sejarahnya mulai dari dua, tiga, sampai empat grup. Bagi anda yang lahir pada akhir 1990-an mungkin masih sangat ingat format Divisi Utama Liga Indonesia yang memiliki dua wilayah yaitu Wilayah Barat dan Wilayah Timur sebelum 4 peringkat teratas akan berkompetisi di 8 besar, dan juara ditentukan di pertandingan final. Hal tersebut berubah ketika memasuki era Liga Super Indonesia yang menganut format liga murni, tanpa wilayah, dan pertandingan final.

Siapa yang tidak ingat logo legendaris Liga Djarum | indosport.com
Siapa yang tidak ingat logo legendaris Liga Djarum | indosport.com
Perubahan signifikan lain adalah pada perkara pendanaan tim, sampai tahun 2011 Liga Indonesia masih mempertandingkan tim-tim eks Ligina yang mandiri dan eks Perserikatan yang mendapatkan kucuran dana dari APBD. 

Dengan "dana dari langit" berupa APBD yang sangat masif tim-tim eks Perserikatan cukup mendominasi era Divisi Utama, sebut saja Persija, Persib, dan Persekabpas Pasuruan. Meskipun demikian, tim yang murni profesionalpun tidak selalu kalah pamor sebut saja Arema, Deltras Siduarjo, dan Pelita Jaya. 

Penggunaan APBD memang menjamin tim untuk menjadi stabil secara keuangan, dibandingkan sekarang, dimana banyak berita tim yang kolaps, dijual dan gagal membayar pemain.

Namun, banyak yang menilai penggunaan APBD membuat tim menjadi tidak profesional, dan bergantung pada dana APBD alih-alih mengembangkan potensinya. Kecanduan APBD juga membuat pemerintah daerah berpotensi sewenang-wenang pada tim, lihat saja nasib Persijatim yang dijual ke Palembang dan Persitara yang nyaris dilebur dengan Persija.

Belum lagi membahas cerita tragis tim-tim "anak tiri" seperti Persitara yang "hanya" mendapatkan 3 miliyar pada 2009, tidak sampai sepertujuh dari saudara [mungkin lebih tepat disebut musuh]-nya Persija Jakarta. Liga juga dipenuhi oleh tim-tim dengan "doping" dana dari pemerintah daerah yang mengucurkan dana besar-besaran dan membuat tim menjadi tiba-tiba besar.

Perombakan besar sepak bola Indonesia adalah standarisasi Infrastruktur, per-2008 Liga Indonesia mulai tidak menoleransi stadion-stadion tua yang dianggap tidak layak. Pada musim pertama Liga Super terdapat empat tim yang menjadi musafir, Persitara Jakarta Utara, PSMS Medan dan Persija Jakarta. Persija menjadi korban Pemilu, sementara silahkan nilai sendiri Stadion Kamal Muara, Stadion Tugu, Stadion Benteng Lama, atau Stadion Teladan yang sebelum direnovasi bahkan tidak dapat memainkan laga malam. 

Persmin Minahasa Era Divisi Utama | sulutaktual.com/
Persmin Minahasa Era Divisi Utama | sulutaktual.com/

Yang lebih tragis tentu Persiter Ternate dan Persmin Minahasa yang batal berkompetisi karena pendanaan, dan tentunya infrastruktur. Hal yang serupa terjadi pada Persiwa Wamena yang gagal memenuhi persuaratan keuangan dan infrastruktur pada 2015, sementara Persiram Raja Ampat kolaps setelah pada tahun 2014-2015 setelah menjadi musafir di ISL.

Transisi besar-besaran menuju liga yang profesional dan industrial tersebut juga tidak sepenuhnya mulus, era 2010an merupakan dekade yang sangat kelam bagi liga Indonesia. Mulai dari dibekukannya PSSI, tidak ada liga pada tahun 2016, dualisme kompetisi, sampai banyaknya tim yang mengalami dualisme, dan pandemi global yang menghentikan kompetisi.

Transisi yang tidak mulus tersebut tentu memakan korban yang mungkin paling disadari adalah banyaknya tim besar yang gulung tikar atau turun ke divisi rendah terutama dari kawasan timur Indonesia yang akan penulis bahas dalam artikel berikutnya.

Artikel Berikutnya:

Berlari dengan Sepatu Yang Berbeda #2: Melihat Tren Persebaran Tim Sepak Bola Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun