Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menjawab Hoax dan Kesalahpahaman Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagian II

29 Januari 2019   15:55 Diperbarui: 29 Januari 2019   22:09 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://news.detik.com/berita/4311430/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-diminta-segera-disahkan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mendukung Seks Bebas?: Tidak ada hubungannya! 

Terdapat tudingan meyesatkan bahwa RUU Penghapusan kekerasan seksual merupakan RUU yang mendukung seks bebas, atau perzinahan. Hal tersebut tentu tidak masuk akal, sebab bukan karena sebuah RUU tidak memidana sebuah tindakan, maka RUU tersebut mendukung tindakan tersebut. Misalnya, bukan karena Undang-Undang Ormas tidak memidana Anarkisme, maka bukan berarti Undang-Undang Ormas mendukung Anarkisme.

Lagipula, tidak dimasukannya perzinahan dalam RUU Penghapusan kekerasan Seksual sangat beralasan, pertama karena perzinahan atau seks bebas tidak tepat apabila dimasukan kedalam lingkup kekerasan seksual. Definisi kekeasan seksual dalam RUU Penghapusan kekerasan seksual adalah:[1]

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik"

Menurut pendapat penulis definisi tersebut beralasan dan selaras dengan defnisi dari World Helath Organization:[2]

"Any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic or otherwise directed against a person's sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work"

Dari kedua definisi tersebut dapat diihat bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam kekerasan seksual yang membedakannya dari tindakan lain; tindakan seksual, atau tindakan terhadap seksualitas orang lain, terhadap orang lain, dan secara paksa/tidak terdapatnya persetujuan/tidak diinginkan. Dengan demikian, tindakan seks bebas yang konsesus tidak memenuhi unsur-unsur tersebut, khususnya mengenai "kekerasan", "tidak konsensus", atau "tidak diinginkan". 

Meskipun dalam KUHP baik overspell dan pemerkosaan masuk kedalam bab kesusilaan, paradigma hukum moderen medorong pemisahan kekerasan seksual dari bab kesusilaan. Sebab terdapat perbedaan yang fundamental antara kekerasan seksual dan kesusilaan, dimana kekerasan seksual tidak lagi dipandang sebagai bagian dari pelanggaran terhadap kesusilaan. Menurut hemat penulis, perzinahan bukan masuk ke ranah kekerasan seksual, melainkan ke ranah kesusilaan. Mengenai perlu atau tidaknya perzinahan diatur dalam sebuah negara sebenarnya sudah mencuat dalam pembahasan RKUHP beberapa waktu lalu, dan memerlukan artikel lain untuk dibahas. 

Secara umum terdapat kritik besar terhadap kriminalisasi zina seperti ancaman terhadap masyarakat yang perkawinannya tidak tercatat, korban ekspolitasi seksual, dan korban kekerasan seksual yang sulit memperoleh pembuktian.[3] Bahkan kasus korban pemerkosaan yang dipenjara berdasarkan pasal zina sudah benar-benar terjadi di Qatar, Sudan, UAE, dan Afghanistan sehingga sangat berpotensi menjadi pasal yang kontraporduktif dengan penghapusan kekerasan seksual.[4]  

Namun, terlepas dari perdebatan mengenai perlu atau tidaknya perzinahan dipidana, perzinahan bukanlah sebuah substansi pasal yang perlu diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain itu RUU Penghapusan Kekerasan seksual juga tidak mencabut pasal overspell dalam KUHP.  Dengan demikian, hubungan antara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan seks bebas dapat disimpulkan tidak ada, sebab keduanya berada di ranah yang berbeda, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga tidak pernah menghapuskan pasal mengenai perilaku seks bebas yang sudah ada, atau lebih jelas lagi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mengamanatkan promosi seks bebas. Sehingga tidak diaturnya perzinahan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bukan menjadi alasan untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau menudingnya Undang-Undang Pro Zina.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun