Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masihkah Jokowi Jadi "Boneka" Megawati?

13 Oktober 2019   20:06 Diperbarui: 13 Oktober 2019   20:22 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RASANYA memang berlebihan, jika pertanyaan seperti judul tulisan di atas masih mengganggu pikiran penulis. Betapapun, Joko Widodo (Jokowi) adalah seorang pemimpin negara. 

Sejatinya, berdiri tegak di atas kakinya sendiri tanpa ada yang mampu menyetir atau mengarahkan dalam setiap kebijakan yang dibuatnya dalam mengelola negara ini. 

Namun, maaf. Penulis sampai saat ini masih belum percaya sepenuhnya, kalau Presiden Jokowi benar-benar lepas dari bayang-bayang Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno putri, biasa dikenal dengan panggilan Megawati atau Mega.

Bukan rahasia umum, kalau selama ini Jokowi dibesarkan oleh PDI Perjuangan yang notabene partainya Megawati. Meski, belum ada deklarasi khusus kalau Jokowi itu kader partai berlambang banteng gemuk bermoncong putih, tapi kerapkali mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini adalah petugas partai PDI Perjuangan. Setidaknya itu yang sering diucapkan Megawati dalam beberapa kesempatan. 

Wajar, karena memang PDI Perjuanganlah yang pertama berani mengusung Jokowi untuk mencalonkan diri menjadi presiden pada 2014 lalu. 

Seperti kita tahu, di saat partai besar lainnya, seperti Demokrat, Golkar dan PKS merapat ke Prabowo-Hatta Rajasa, Megawati dengan PDI Perjuangannya konsisten mengusung Jokowi. Hasilnya, Jokowi yang berpasangan dengan Yusuf Kalla sukses memenangi konstetasi Pilpres 2014 lalu.

Namun, resikonya sudah bisa kita tebak. Meski Jokowi memenangi Pilpres dan berhak menduduki kursi nomor satu di republik ini, pernyataan-pernyataan nyinyir tak bisa dibendung. Banyak yang beranggapan, Jokowi hanyalah kepanjangan tangan bahkan lebih parah lagi disebut "boneka" Megawati dalam pengelolaan pemerintahan.

Dengan kata lain, secara fisik, memang Jokowi yang menjadi presiden. Tapi, kebijakan yang dibuat harus berdasarkan kesepakatan Megawati. Dalam hal ini, tak jarang keputusan yang diambil Jokowi berorietasi pada putusan partai bukan berdasarkan putusan pro rakyat.

Memang tak sepenuhnya benar, sebab ada beberapa contoh kasus yang sempat mencuat ke permukaan, bahwa Jokowi tak sepenuhnya tunduk pada Megawati, yaitu pada saat kasus Budi Gunawan (BG)

Pada waktu itu, BG diproyeksikan menjadi Kapolri. Namun, dalam perjalanannya, Jokowi lebih memilih Jendral Tito Karnavian. Karena, BG dianggap bermasalah dengan KPK. Sempat tersebar isu keretakan diantara Jokowi dan Megawati. Namun, akhirnya mereka rujuk kembali. Sebagai bukti, PDI Perjuangan dengan Megawatinya kembali mengusung Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.

Kini, menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden, Minggu, 20 Oktober 2109 mendatang, serta maraknya isu kabinet kerja Jilid II pemerintahan Jokowi. Power Mega tampak muncul kembali. Khususnya dalam penentuan calon-calon menteri yang akan membantu Jokowi-Ma'ruf Amin pada pemerintahan periode 2019-2024.

Sejatinya, pemilihan kabinet kementrian adalah ranah prerogratif Jokowi. Namun, sepertinya masih tersandera oleh Megawati. Lagi-lagi, tersanderanya Jokowi ini tak lepas dari jasa-jasa yang telah dilakukan Megawati untuk Jokowi. Tak heran, kalau masih ada keputusan-keputusan besar, seperti halnya pemilihan calon menteri masih melibatkan campur tangan Megawati.

Dilansir CNN Indonesia, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, menyebutkan, Jokowi masih tersandera politiknya oleh Megawati.  Salah satu indikasinya adalah, masih setengah hatinya Jokowi menerima Partai Demokrat bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi. Karena, betapapun diterima atau tidaknya Demokrat membutuhkan pintu izin dari Megawati.

"Kalau saya melihat pak Jokowi masih setengah hati menerima Demokrat. Karena betapa pun pak Jokowi adalah petugas partai dalam kacamata PDIP. Jadi pak Jokowi mesti komunikasi dengan bu Megawati," kata Ubedillah.

Namun, sikap berbeda ditunjukan Jokowi pada partai Gerindra. Meski partai berlambang kepala burung Garuda ini merupakan rival utama Jokowi pada Pilpres lalu, tapi tidak tampak keraguan dari Jokowi untuk menerima Gerindra masuk dalam jajaran pemerintahannya. 

Ini tak lepas dari hubungan bsik yang terjalin antara Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra dengan Megawati. Hal ini jelas berbading terbalik dengan hubungan antara Megawati dengan SBY yang pernah ada sejarah kurang baik diantara keduanya.

Dari kedua contoh kasuh ini, tak bisa dinafikan, kalau memang pengaruh Megawati terhadap Jokowi masih sangat besar. Ini tentunya kalau dibiarkan terus tidak akan baik bagi kelangsungan pemerintahan Jokowi kedepannya. 

Bagaimanapun, keputusan-keputusan yang harus diambil Jokowi adalah keputusan-keputusan populis yang berorietasi bagi kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan Megawati dan PDIP-nya atau partai pengusung lainnya.Mampukah Jokowi memutus mata rantai kepentingan Megawati dan partainya?....Hanya waktu yang akan bisa menjawab. Wassallam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun