Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Sebelum Hari Itu Tiba

12 Oktober 2019   20:08 Diperbarui: 12 Oktober 2019   20:31 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SENJA itu, lembayung pemerkan indahnya jingga. Namun perlahan, kabut hitam berfose singkirkan segala indah dari sang pencipta. Lalu, udara dingin merasuk menembus pori-pori kulit Jaka yang sedang termenung di depan sebuah gubuk sederhana, yang selalu menjadi saksi bisu dari ribuan sandiwara kehidupan yang ia hadapi bersama ibu dan kakak perempuannya. Di gubuk itu, segala duka nestapa, dan tawa bahagia menjadi lakon dari keluarga kecil dan sederhana.

Jaka, pemuda tanggung, berumur belum genap 17 tahun itu terpaksa putus sekolah. Selain kepintarannya standar, ia juga harus mengalah pada kakak perempuannya yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota tempat Jaka tinggal. Bukan karena keluarga mereka mampu, tapi kakak perempuannya itu mendapatkan pendidikan gratis karena mendapat beasiswa. Namun, tetap saja, untuk biaya sehari-harinya harus ditanggung sendiri. Jaka harus berjibaku sendiri mencari nafkah, karena ibunya yang seorang janda sudah sakit-sakitan.

"Uhuk...uhuk...uhuk," suara batuk seorang perempuan mengagetkan lamunan Jaka.

"Ibu?" Gumam Jaka, laku beringsut menghampiri arah suara itu.

"Ibu, kenapa lagi? Sudah diminum obatnya kan?" Tanya Jaka pada ibunya, rona wajahnya memancarkan rasa khawatir.

"Ibu tidak apa-apa...! Mana kakakmu?"

"Kakak belum pulang, bu. Emang ada apa, tumben nanyain kakak segala?" Tanya Jaka, lagi.

"Ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan pada kalian berdua..!" Sahut ibu Jaka, terbaring lemah di ranjang kayu sederhana.

"Bicara apa? Sampaikan saja pada Jaka..! Biar, nanti Jaka yang menyampaikan kembali pada kak Nita."

"Tidak, nak. Nanti saja kalau kakakmu sudah pulang."

"Baiklah, bu," Sahut Jaka, penasaran.

***
Selang beberapa lama kemudian, Nita pun sampai ke rumah. Dia langsung disambut Jaka dengan senyum dan salam hormat pada kakaknya. Memang, selama ini, Jaka selalu taat dan patuh pada Nita. Selain kakaknya sendiri, Nita lah yang telah memberikan segala pelajaran hidup termasuk ilmu-ilmu agama, yang menjadikan Jaka seorang pemuda soleh dan taat beragama.

"Kak, tadi ibu bilang, katanya ingin bicara pada kita berdua...!" Ujar Jaka.

"Emang ada apa ya?"

"Entahlah kak, tapi sepertinya penting."

"Aneh, tidak seperti biasanya ibu seperti itu," Ungkap Nita, penasaran terhadap maksud ibunya.

Sedang asik, kedua kakak adik itu ngobrol, tiba-tiba suara lemah perempuan, memanggilnya.

"Nita, Jaka, kesini nak...!"

"Eh, kak, ibu memanggil tuh...!" Ujar Jaka pada Nita.

"Iya, ayo kita samperin...!" Ajak Nita pada adiknya.

"Ayo."

Keduanya segera menghampiri panggilan ibunya. Tampak oleh kedua anaknya, wajah ibunya pucat dan semakin terbaring lemah.

"Sini, mendekat anak-anakku..!" Suruh ibunya

Menuruti kemauan ibunya, kedua kakak adik iru segera mendekat ibu mereka. Keduanya tampak gelisah atas perubahan sikap dan kondisi tubuh ibu mereka.

"Ibu, sebenarnya ada apa, menyuruh kami berdua mendekat seperti ini? Ada hal apa yang ingin ibu bicarakan pada kami?" Tanya Nita, lemah lembut, sambil mengelus-elus rambut ibunya yang terurai.

Ditanya seperti itu, si ibu yang bernama Sukaenah, hanya tersenyum. Lalu, kedua tangannya menggenggam tangan kedua anaknya.

"Anak-anakku, kalian dengarkan baik-baik, apa yang ingin ibu katakan...!"

"Ya, bu. Kami siap mendengarkan," Sahut Jaka.

"Ibu merasa, umur ibu tidak lama lagi. Untuk itu, ibu ingin menyampaikan sesuatu untuk bekal hidup kalian, kelak."

"Ibu, jangan bicara seperti itu...! Yakinlah, ibu akan panjang umur," Ucap Nita, kedua sudut matanya mulai dibasahai bulir-bulir bening air mata.

Jaka pun, tampaknya tak kuasa menahan sedih. Kedua matanya juga ikut berkaca-kaca.

"Tidak, anakku. Ibu rasa, umur ibu emang tak lama lagi. Namun, sebelum hari itu tiba, dengarkan baik-baik. Jangan ada satupun yang membantah...!"

"Baik. Katakanlah bu...!" Ujar Nita, air matanya mulai membasahi pipi. Sementara, Jaka hanya bisa tertunduk.

"Ibu hanya ingin berpesan tiga hal pada kalian berdua."

"Apa itu bu?" Tanya Jaka

"Iya, apa itu bu?" Susul Nita.

"Pertama, jangan sekali-kali kalian tinggalkan ibadah. Karena itu, jalan satu-satunya pemberi jalan dan penerang hidup kalian di dunia maupun akhirat kelak. Lalu, yang kedua, bersyukurlah selalu atas apa yang kalian punya. Hanya dengan bersyukur, kalian akan terhindar dari segala rasa iri dan dengki," Sampai di sini, Sukaenah terdiam sejenak. Suaranya mulai agak berat.

"Bu, kalau ibu sudah tidak kuat, mending istirahat saja. Jangan paksakan bicara...! Pinta Nita pada ibunya.

Sementara, Sukaenah hanya menggelengkan kepala. Tanda dia, tidak ingin menunda lagi omongannya.

"Tidak, nak. Ibu masih kuat koq."

"Dengarlah baik-baik...! Yang ketiga adalah, kalian sebagai saudara, tetaplah rukun. Jangan ada saling benci diantara kalian. Karena kebencian adalah bibit kehancuran. Hati yang membenci, akan tidak pernah tenang dalam hidupnya. Dalam hatinya akan terus dikuasai dendam. Dan dendam adalah pangkal kehancuran jiwa dan raga."

"Apakah kalian mengerti, apa yang ibu ucapkan?" Tanya Suakenah pada kedua anaknya.

"Iya, bu. Nita faham maksud ibu."

"Jaka juga faham bu. Akan kuingat terus pesan ibu, selama hayat dikandung badan."

"Syukurlah. Kalian memang anak-anak ibu yang baik. Maaf, hanya itu yang bisa ibu wariskan pada kalian. Tak ada harta yang bisa ibu berikan. Sekali lagi, maafkan ibu..!"

Setelah memberikan nasehat kepada kedua anaknya, tubuh Sukaenah tampak makin lemah. Sontak, kondisi ini membuat kedua anaknya tak kuasa menahan tangis lagi. Keduanya sesenggukan menangis sambil menciumi wajah ibunya.

Melihat mental anak-anaknya yang masih kelihatan berat melepas kepergiannya. Sukaenah, kembali memaksakan diri bicara.

"Anakku, manusia itu tidak ada yang kekal. Semua yang bernyawa pasti akan mati. Maafkan semua salah ibu, jika tidak bisa lagi menemani kalian. Nita, jadilah engkau ibu sekaligus bapak bagi adikmu Jaka. Dan kau Jaka, jagalah kakakmu dengan baik. Anggaplah,kakakmu pengganti ibumu. Lailah haillahu Muahamadu Rosullulloh," perlahan, kelopak mata Sukaenah mengatup. Meninggalkan alam dunya untuk selamanya, kembali menghadap sang pencipta.

"Ibuuuuuuuuuuu.....Inalillahi wa innalillahi roji'un. Hiks..hiks..hiks..," Nita menangis tersedu-sedu.

"Kak Nita, ayo kita bawa ibu ke rumah sakit. Ayo, kak....!" Ucap Jaka, terengah-engah.

"Tidak perlu dik. Ibu telah berpulang ke pangkuanNya," Ujar Nita.

Hati Jaka langsung tersentak mendapati ibu yang sangat dia sayangi ternyata telah wafat. Tubuhnya menggigil. Diselonjorkan kakinya di ubin.

"Inalillahi wa inallilahi roji'un," bisiknya, sambil terus menangis.

***
Selang beberapa minggu kemudian, Nita lebih banyak melamun. Dia bingung dengan kelanjutan kuliahnya.

"Kakak, kenapa? Jaka perhatikan, akhir-akhir ini sering melamun."

"Kakak bingung memikirkan kuliah kakak. Darimana kakak mendapat biaya?" Keluh Nita.

"Kak (Jaka menatap kakaknya tajam), saat pemakaman ibu, Jaka telah berjanji di depan makam ibu. Jaka akan terus berusaha memberikan yang terbaik buat kakak. Biarlah, tentang biaya kakak, Jaka yang akan berusaha mencarinya. Toh, Jaka tidak sekolah ini. Jaka bisa mencari pekerjaan apapun asal halal."

"Tapi, kakak ini yang lebih punya tanggung jawab..."

"kak, Jaka ini anak laki-laki dan di dunia ini wanita kedua yang paling Jaka sayang setelah ibu adalah kakak Jaka akan bekerja lebih keras untuk biaya kakak kuliah."

Nita hanya diam. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir. Bukan air mata kepedihan, namun air mata bahagia. Nita bersyukur memiliki seorang adik yang begitu menyayanginya. Ia peluk adiknya.

"Adikku, bagaimanapun engkau gak boleh kerja keras sendirian. Sekarang kita hanya berdua. Jadi susah senang harus ditanggung bersama. Kalau Jaka kerja keras, kakakpun akan kerja keras. Kita berjuang bersama, ya?"

Jaka tersenyum dan berbisik "sebelum hari itu tiba, Jaka akan selalu menjaga kakak dan melakukan yang terbaik untuk kakak."

.......TAMAT........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun