Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisi, Sedikit Belajarlah dari Sangkuni...!

19 Agustus 2019   19:26 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:31 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
reversemortgageflorida.pw

PASKA ditetapkannya pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin jadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Republik Indonesia, periode 2019-2024, tak sedikit partai politik dan aktor-aktor di dalamnya bermanis-manis ria, mencari simpati, tebar pesona demi mendapatkan jatah menteri. 

Bisa dimaklumi bagi mereka yang sejak awal terang-terangan mendukung pasangan terpilih ini. Karena, sejatinya politik itu sangat transaksional, dalam arti, kalau sudah pemilu usai, tentu yang dipikirkan adalah bagaimana distribusi kekuasaan itu dibagi secara merata terutama kepada partai-partai pengusung. 

Tapi, bagi partai politik yang awalnya bersebrangan rasanya tidak elok didengar atau dipandang mata kalau saat ini tiba-tiba ingin gabung pada koalisi pemenang. Meski penulis amati, mereka ini masih malu-malu. Pembaca mungkin sudah bisa menebak, apa maksudnya...!

Namun dilihat dari kaca mata politik, prilaku mereka yang plintat plintut seperti itu sungguh tak bisa disalahkan. Karena, memang dalam pusaran politik praktis, kepentingan adalah di atas segalanya. 

Tak peduli menabrak etika, norma dan kepatutan. Mungkin ini yang dimaksud dengan pandangan David Runciman, dalam bukunya political Hypoccrisy yang bertema The Mask Of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond. Artinya politik muka dua alias politik yang sarat dengan wajah kemunafikan dan  sikap standar ganda. 

Dalam hal ini partai politik dan aktor di dalamnya, berdiri dibalik jargon paripurna. Padahal itu semua hanya kedok untuk digunakan menutupi wajah kekuasaan. 

Politik muka dua ini tumbuh dan beroperasi seiring dengan pergeseran panggung politik menjadi panggung drama. Dalam hal ini, politik disulap sedemikian rupa menjadi arena perang citra dan tebar pesona. Jauh dari makna dan realita sebenarnya.

Bukan bermaksud untuk membenarkan Sangkuni, salah satu tokoh pewayangan, apalagi menyuruh atau mengikutinya. Jelas, tokoh ini merupakan contoh busuk dalam berpolitik. Ia adalah bandit yang selalu menghalalkan segala cara. 

Dalam kamus hidupnya tidak mengenal kata norma dan etika. Siapa pun yang tidak sefaham, tidak akan segan ditentangnya dan menyatakan perang. Meskipun yang akan dilawannya adalah sesepuh Astinapura, Resi Bhisma.

Namun dalam segala kebusukannya itu, ada sisi karakternya yang bisa diambil hikmah dan menjadi bahan renungan. Sangkuni bukanlah politisi hipokrit. 

Ia pribadi yang apa adanya, tak ada satu pun yang disembunyikan dari seluruh kepribadian yang melekat pada dirinya, sebagai penjelmaan iblis paling jahat di jagat raya. Artinya ia tidak mau menjadi pribadi yang palsu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun