Mohon tunggu...
taufiqelhida
taufiqelhida Mohon Tunggu... Penulis - orang gila

Penulis Penggambar Pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Pertama dan Terakhir yang Abadi

6 Oktober 2012   02:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:12 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku mohon terimalah cintaku. Aku memang tidak seperti almarhumah isterimu, tapi setidaknya izinkan aku untuk menjadi orang yang mencoba untuk menemani hidupmu.” Zainab memohon dengan memelas sehingga membuat aku iba.
Angin siang itu terasa begitu panas di tubuhku yang hanya memakai kemeja berwarna hitam yang dibelikan isteriku. Warnanya memang sudah tidak sehitam seperti saat pertama isteriku memberikannya padaku. Tapi aku senang memakainya. Seperti merasakan isteriku memelukku saat kemeja ini menempel di badanku.
“Tapi aku tidak bisa. Telah aku ikrarkan saat aku menikahi isteriku dulu bahwa dia adalah yang pertama dan terakhir. Aku tak akan mengingkarinya sampai kapanpun. Bukan karena aku takut pada diriku sendiri, tapi karena aku ingin buktikan kepada isteriku bahwa aku adalah lelaki yang tidak pernah mengingkari janji. Apa aku salah?” Aku melihat airmatanya menderas.
“Tapi aku mencintaimu..” Zaina dengan tidak terlihat sedikitpun malu karena sudah mengatakan cinta kepadaku. Sebenarnya aku tidak menyangka kau seberani itu. Tapi ya begitulah cinta mungkin telah sangat merasuki dirimu, sehingga membuatnya tidak seperti kebanyakan perempuan yang lebih memilih untuk menunggu lelaki mengatakan cinta terlebih dahulu.
“Aku tahu. Karena itu, jagalah cintamu dengan baik, jangan kau nodai ketulusanmu dengan memaksaku untuk menjadi pasangan hidupmu. Apa kau tidak ingin melihatku menjadi seorang lelaki sejati yang tidak mengingkari janji?” Zainab hanya diam, airmatanya mengatkan banyak hal kepadaku. Dia sedih, dan mungkin juga sakit hati. Tapi inilah hidup. aku tidak ingin melukai isteriku walaupun ia telah tiada.
______________
Khumaira adalah perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Jilbabnya yang panjang dan lebar, membuatku takjub dan jatuh cinta. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang lain. Di saat banyak orang membuka auratnya dengan tanpa beban, Khumaira justru menutupnya penuh ketakutan.
Khumaira selalu tampil anggun dengan apapun yang dikenakannya. Mungkin sebagian orang akan melihatnya monoton karena hanya mengenakan jilbab panjang dan sangat tertutup. Hanya kadang Khumaira suka menambahkan bross dengan hiasan seperti mutiara yang selalu disesuaikan dengan warna jilbabnya. Namun justru itulah yang membuat aku jatuh cinta. Subhaanalloh.
“Ukhti...” Sapaku saat aku memberanikan diri untuk mengajaknya berbincang-bincang di bawah pohon depan kelas kampus kami. Tempat itu adalah tempat di mana aku biasa menghabiskan istirahat atau tidak ada dosen yang masuk. Aku menulis puisi di sana, juga membaca tulisan-tuisan Kahlil Gibran kesukaanku.
“Iya Akhi.” Jawabnya dengan tidak menatap wajahku. Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya dari dekat. Tapi ia memang selalu menjaga pandangan. Dan itu kian menambah kekagumanku padanya.
“Boleh aku bertanya padamu?” Aku sebenarnya malu saat pertama mengatakan hal itu. Tapi aku harus berani. Tak kuhiraukan semut merah yang menggigit kakiku, aku tahan.
“Silakan.” Jawabnya dengan nada yang hampir tidak kudengar suaranya. Dalam hatiku ada keraguan apakah aku bisa mengatakan hal ini kepadanya atau lebih baik aku urungkan saja niatku untuk bertanya hal yang telah lama aku pendam.
Aku menarik nafas, mengatur detakkan jantung yang berdegup semakin kencang. Dan angin sore itu menambah dramatis suasana. Langit teduh, tapi bukan karena mendung. Suara burung gereja yang sedang mandi tanah di depan tempat duduk kami ternyata mampu sedikit menenangkan hatiku.
Ada jarak antara aku dan Khumaira. Aku duduk tidak merapat dengannya. Aku tidak berani. Karena Khumaira pasti tidak akan suka. Namun wangi dari parfum yang dia pakai, berhasil membuatku nyaman berada di sampingnya.
“Akhi, katanya tadi mau bertanya.”
“Oh iya maaf.” Suara lembutnya menyadarkanku. Aku pura-pura merubah posisi dudukku. Beruntung suasana tidak begitu ramai karena sebagian mahasiswa masih berada di ruangan. Khumaira dan aku satu angkatan dan satu fakultas pula. Aku sudah jatuh cinta padanya sejak saat pertama melihatnya. Namun pada smester terakhir inilah aku baru bisa memberanikan diri untuk mendekatinya. “Ukhti, emm, maaf kalau aku menanyakan hal ini kepadamu. Maaf jika aku lancang. Apakah ukhti sudah punya pacar?” Aku merundukkan kepadalaku, tak berani menatap wajahnya. Aku malu semalu-malunya. Tapi ini harus aku tanyakan.
“Tidak.” Jawabnya. Aku sedikit tenang. “Aku memang tidak punya pacar, bahkan belum pernah punya pacar. Mungkin kau anggap aku norak ya. Karena banyak orang yang bilang kampungan kalau gak punya pacar kan?”
“Ah enggak juga. karena aku juga belum pernah punya pacar.” Jawabku dengan jujur dan memang begitulah adanya. Khumaira adalah perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Selama ini aku memang dingin dan lebih tepatnya mungkin karena aku tidak punya keberanian untuk mencintai.
“Jangan bohong, dosa loh.” Khumaira tidak pernah sekalipun menatap wajahku. Angin yang semilir, menghanyutkanku pada heningnya senja.
“Ya Tuhan, mana bisa aku bohong. Aku memang belum pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan manapun. Aku berpikir, untuk apa punya pacar kalau akhirnya aku disakiti-sakiti juga. lagipula itu lebih mendekatkan diri kepada nafsu. Dan aku malu, lebih tepatnya mungkin aku takut.” Aku mngatakannya sambil menatap ke langit yang hanya dihiasi sedikit awan. Cericit burung gereja masih bersautan.
“Aku juga sependapat denganmu. Bagiku, orang yang mau menjadikanku pacarnya adalah orang yang tidak menghormatiku. Untuk apa mengajakku pacaran. Kalau memang serius mencintaiku, kenapa tidak langsung mengajakku menikah saja. Bukankah itu lebih baik.” Aku kagum dengan sudut pandang dan pola pikirnya. Aku bangga, dan aku pikir aku memang telah jatuh cinta kepada orang yang tepat. Dan ini membuatku yakin untuk memilih dan menjadikannya isteri.
“Ukhti...” Aku.
“Iya...” Jawabnya dengan biasa saja. Aku tak melihat wajahnya kecuali hanya dari pojok mataku saja.
“Bolehkah aku bertanya lagi.” Tanyaku dengan tida memakai nada bertanya.
“Selama masih bisa aku jawab, aku akan menjawabnya. Namun jika tidak maka maafkan aku.” Aku mengerti. Ini artinya aku boleh bertanya apapun. Aku menarik nafas sanagat dalam, mengatur hatiku untuk menanyakan hal penting ini, dan siap untuk menerima apapun jawabannya. Bismillaah.
“Ukhti, maukah kau menjadi isteriku?” Kali ini aku memberanikan diri untuk melihat wajahmu meskipun hanya dari samping kirimu. Aku ingin tahu reaksimu. Hatiku tidak menentu. Angin seperti diam, burung-burung seolah bisu. Tak kudengar suara apapun selain detak jantungku yang tak menentu. Aku takut, aku malu, aku khawatir.
Bagaimana kalau ia menolak ajakanku, bagaimana kalau setelah ini ia malah membenciku, bagaimana kalau setelah aku mengajaknya menikah malah menjauhiku dan tidak ingin lagi mengenaliku. Bagaimana aku bisa melewati itu sedang Khuamaira adalah perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Pasti akan jadi kenangan buruk sepanjang hidupku. Walaupun telah aku siapkan hati untuk menerima apapun jawabannya sebelum aku mengungkapakan, namun ternyata terasa berat setelah semua aku keluarkan. Bukankah seharusnya aku lebih tenang karena hal yang selama ini aku pendam akhirnya aku katakan juga. ah, sungguh hatiku berdebar tak menentu.
Khumaira terdiam untuk beberapa waktu, aku membiarkannya. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku tak bisa menebak. Aku dengar ponsel Khumaira berdering, lalu diangkatnya.
“Assalaamu’alaikum Dek, kamu sudah sampai kampuskah?” Aku tak mendengar jawaban apa, mungkin Adeknya sudah berada di jalan depan kampus untuk menjemputnya. “Baiklah, tunggu di sana sebentar ya, Kakak ke sana sebentar lagi.”
“Jemputan sudah datang ya Ukhti..” Tanyaku dengan senyum.
“Iya Akhi, maaf belum bisa menjawab pertanyaan Akhi sekarang. Aku akan meminta petunjuk dariNya dulu, nanti kalau aku sudah punya jawaban, aku pasti akan memberi jawabannya kepada Akhi, insyaalloh. Semoga akhi sabar menunggu ya.” Senyum Khumaira saat mengatakan hal itu sungguh meneduhkan hati, seteduh senja ini sesejuk angin yang kurasakan kini. Ah indahnya. Dalam hatiku, aku pasti akan sabar menunggumu sesabar aku menanti saat aku berani mengungkapkan isi hatiku selama ini kepadamu.
“Iya Ukhti, aku akan tunggu.” Jawabku membalas senyumnya.
“Terimaksih Akhi.” Khumaira menyatuka kedua telapak tangannya dan meletakannya di depan dadanya. Aku mengerti itu isyarat rasa terimakasihmu supaya kita tidak bersalaman dengan bersentuhan.
“Afwan ya Ukhti, dan terimakasih telah bersedia aku ajak ngoborol.” Jawabku membalas menempelkan kedua telapak tangan di dadaku. Ah, aku lega.
“Sama-sama Akhi. Mari, aku pulang duluan ya. Assalamu’alaikum...”
“Sila, Ukhti, wa’alaikumsalaam warohmatulloh...” Khumaira lalu pergi, aku mengikutinya dengan tidak membuang pandanganku dari melihatnya sampai pagar menghalangi pandanganku.
Beberapa hari aku bertemu di kampus dengan Khumaira, kami hanya saling senyum dan tanpa saling sapa. Aku tidak akan menanyakan perihal jawaban yang ingin aku terima, yang pasti aku akan menunggunya dengan sabar.
Setelah sekitar dua mingguan akhirnya Khumaira mengajakku untuk duduk di bawah pohon yang sama dengan suasana yang berbeda. Kali ini lebih cair dan lebih tenang. Burung gereja yang bersahutan di atas tanah, dan angin senja yang sepoi dengan suasana yang hening, yang terdengar hanya riuh suara dosen dari kelas yang sedang aktif. Aku telah siap dengan apapun jawaban yang akan diberikan oleh Khumaira. Perasaan tegang memang ada, tapi ini tidak masalah bagiku karena aku bisa mengatasinya.
“Akhi...” Khumaira memulai percakapan, keteganganku kian bertambah.
“Iya Ukhti.” Jawabku dengan pelan. Aku melihat Khumaira menarik nafas panjang sebelum meneruskan kata-katanya.
“Pertama, aku mohon maaf karena telah membuat Akhi lama menunggu. Kedua, aku memang akan memberikan jawabannya sekarang. Aku harap Akhi terima segala jawabanku dengan lapang dada.” Ini membuatku semakin tegang. Namun aku berusaha menyembunyikannya.
“Ukhti, aku pasti akan terima apapun jawaban Ukhti. Baik itu sesuai dengan yang aku harpakan ataupun tidak sesuai. Karena itu semua hak Ukhti, dan kewajibanku adalah mengormati keputusan Ukhti apapun itu.
“Syukron, Akhi, alhamdulillah setelah beristikhoroh (sholat sunnah untuk meminta pilihan yang terbaik) beberapa kali, aku mendapatkan petunjuk lewat keyakinan di hatiku. Dan keyakinan ini juga sudah aku diskusikan dengan Abi dan Umiku.” Khumaira benar-benar berhasil membuatku sangat tegang. Mungkin lebih tegang dari seseorang yang menunggu undian berhadiah mobil dari jalan santai Agustusan. Aku tidak berani memotong apapun pembicaraan Khumaira satu patah katapun. “Aku bersedia menjadi isterimu.” Duhai, hatiku bergetar menahan kegembiraan yang maha dalam hati. Sungguh ini kebahagiaan sangat besar yang aku tidak akan pernah lupa untuk mensyukurinya. Seperti mendapatkan air di tengah padang pasir yang gersang, seperti mendapat hujan setelah kemarau yang panjang, sungguh aku bahagia dan seakan tidak percaya. “Datanglah ke rumahku bawa serta orangtuamu untuk mengkhitbahku. Dan kita segera menikah.” Khumaira memang sangat mengagumkan. Ia katakan hal seberat itu dengan sangat tenang. Tinggalah aku yang sungguh sangat takjub dengan jawaban yang diberikan Khumaira. Kami berdua sekarang saling senyum dengan rasa cinta aku lihat dari wajahnya yang kini mulai berani aku tatap. Aku tidak takut lagi, kecuali untuk menyentuhnya. Ingin rasaku memeluknya namun aku tahan sekuat iman. Alhamdulillaah, terimakasih yaa Alloh.
“Ukhti serius menerima?” Tanyaku untuk sekedar menambah keyakinanku. Aku yakin Khumaira tidak mungkin berbohong, dan segala yang dikatakannya sudah pasti benar.
“Iya, Akhi, serius.” Jawab Khumaira dengan senyum yang lagi-lagi membuatku jatuh cinta kepadanya.
“Terimakasih, Ukhti, sukron katsiron telah bersedia menerima khitbahanku. Insyaalloh secepatnya aku akan datang meminta restu dan mengkhitbahmu kepada orangtuamu. Sungguh ini anugerah yang sangat agung, mahasuci alloh.”
“Iya, datanglah segera. Kami menunggumu.”
Kami menikah, dan kami hidup bahagia. Setiap hari kami lewati dengan penuh kedamaian dan sukacita bersama. Hampir tidak ada kami bertengkar, kami saling menghormati dan itu adalah kuncinya. Saat ada masalah, akmi diskusikan dengan dewasa bukan dengan emosi dan amarah.
Setelah menikah, kami tidak langsung berkeinginan untuk punya anak dahulu karena harus menamatkan kuliah kami yang tinggal sebentar lagi. Sampai akhirnya kami lulus, alhamdulillah Tuhan memberikan karunia yang begitu dahsyat kepada kami. Khumaira yang kini telah menjadi isteriku hamil dan itu adalah hal yang sangat membahagiakan.
Hari-hari kehamilan selalu kami lewatkan penuh do’a dan harapan, penuh kebahagiaan dan kegembiraa. Sampai tiba saatnya isteriku melahirkan, aku diuji dengan sesuatu yang sangat menyakitkan.
Isteriku mengalami pendarahan yang hebat, dan berjuang untuk menyelamatkan buah hati kami dengan susah payah. Aku membawanya ke rumah sakit bersalin yang paling canggih untuk di daerahku demi menyelamatkan keduanya. Namun takdir berkata lain, Alloh berkehendak lain. Isteriku wafat setelah berjuang keras menyelamatkan buah hati kami karena terlalu banyak darah yang keluar. Semenetara anakku berhasil selamat atas kekuasaanNya.
__________
“Aku mohon terimalah cintaku. Izinkan aku untuk menjadi isterimu. Walaupun aku sadar tidak lebih baik dan tidak akan mungkin menggantikan isterimu yang telah pergi dengan tenang, aku sangat berarap kau mau menerimaku.” Zainab masih saja memintaku untuk bersedia menenerimanya. Ini tidak mungkin untukku. Aku tidak akan pernah menggantikan posisi isteriku yang telah berjuang mengorbankan nyawanya demi anakku, yang telah bersedia menemaniku dengan indah selama bersamanya dengan siapapun.
“Maafkan aku Zainab, aku tidak akan pernah menggantikan isteriku dengan siapapun. Mungkin bagi orang lain isteriku sudah meninggal, tapi tidak bagiku. Ia selalu hidup dalam hidupku. Hari-hariku tak pernah luput dari mengingatnya. Aku selalu mencintainya dan tidak mungkin cinta ini aku bagi dengan yang lain. Aku dan anakku telah bahagia dengan keadaan ini. Insyaalloh.” Aku lihat Zainab hanya menangis. “Maafkan aku, Zainab, terimakasih telah mencintaiku seperti ini. Aku yakin cintamu tulus karena Alloh, karena itu buktikanlah. Aku yakin Alloh sudah memberikan Jodoh yang terbaik untukmu.” Aku lalu pamit dan pulang menjemput anakku yang sekolah di PAUD dekat taman tempat aku dan Zainab bertemu.
Elhida
61012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun