Mohon tunggu...
taufiqelhida
taufiqelhida Mohon Tunggu... Penulis - orang gila

Penulis Penggambar Pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RTC] Abi dan Umi "Pahlawanku"

9 November 2017   19:00 Diperbarui: 9 November 2017   19:02 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Abi, adalah ayah tiriku. Abi menikahi Umi ketika usiaku 15 tahun. Ketika itu aku kelas tiga SLTP. Sebagai seorang ayah, Abi adalah tauladan. Tidak pernah dia marah terhadap Umi ketika ada kesalahan atau sedang merasa lelah. Abi sangat menjaga perasaan Umi, begitu juga aku.

Aku adalah anak SLTP yang nakal. Sering bolos sekolah, bahkan pernah ikut minum oplosan bersama teman-teman. Ketika Umi tahu, Umi marah besar. Dipukulnya aku, dimakinya aku. Tapi tidak dengan Abi. Abilah yang memelukku, memberikanku pengertian bahwa semua yang telah aku lakukan adalah salah. Dengan kelembutan hatinya Abi selalu bisa meluluhkan aku.

Oleh karena begitu nakalnya aku, setelah keluar SLTP aku tidak melanjutkan sekolah ke SLTA. Abi mengirimku ke sebuah pesantren ternama di Tasikmalaya. Tujuannya jelas, supaya aku berubah. Di pesantren, dengan berbagai peraturan yang ketat aku bertahan selama dua tahun. Selama itu, Abi selalu menjengukku setiap dua minggu setiap bulannya. Dipenuhinya segala kebutuhanku selama di pesantren. Abi mempercayaiku 100%.

Tapi, nyatanya selama tinggal dua tahun di pesantren tidak merubah kebiasaan burukku. Kebiasaan buruk satu hilang, keburukan yang lain datang. Aku mempermalukan Abi dengan kelakuanku yang tidak terpuji. aku sering dihukum ketika di pesantren, banyak sekali kesalahanku. Dari mulai menggunakan alat komunikasi tanpa ijin sampai mencuri uang kantin.

Yang membuat malu Abi adalah karena Abi mengenal dekat dengan pimpinan pesantren tersebut. Abi dan pmpinan pesantren sering bertemu di luar kegiatan pesantren. Dan Abi juga adalah seorang ustadz, guru ngaji. Andai masyarakat yang mengenal Abi tahu seburuk apa kelakuan aku selama di pesantren, tentu Abi akan malu bahkan untuk mengisi ceramah di masyarakat. Aku tahu, Abi begitu sakit hati ketika tahu aku banyak melakukan hal tercela selama di pesantren. Dan sampai akhirnya aku keluar dari pesantren atas keinginanku sendiri. Itupun tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Abi dan Umi. Aku kabur dari pesantren. Umi pasti marah, begitu pun Abi. Aku memang sangat keterlaluan .

Abi pati merasa sangat dikhianati ketika tahu aku kabur dari pesantren untuk bertemu ayah kandungku di Subang yang tak pernah bertanggungjawab terhadapku. Aku ditinggalkannya ketika aku dalam kandungan Umi tujuh bulan. Mabuk-mabukkan dan berjudi adalah keseharian ayah kandungku. Umi murka. Abi marah. Tapi Abi hanya diam. Tidak sepatah katapun Abi memakiku ketika bertemu denganku di beberapa hari kemudian.

Beberapa bulan setelah aku keluar dari pesantren, aku menikah. Tidak kuberitahukan Abi dan Umi. Tapi mereka tahu dari nenek. Dengan perasaan tidak dihargai olehku, Abi dan Umi datang ke pernikahan. Bahkan membiayai pernikahanku. Abi selalu melakukan kewajibannya sebagai ayah, dan aku selalu mengkhianatinya sebagai anak.

"Anakku, seburuk apapun kelakuanmu, engkau tetap anakku. Kewajibanku untuk selalu menjagamu. Dan di hari pernikahanmu ini, walau aku selalu kau anggap tidak ada dan tidak berharga, aku tetap menyayangimu. Engkau adalah anak dari isteriku, itu artinya engkau adalah anakku. Tak ada beda tiri dan kandung. Menikahlah, dan berbahagialah. Semoga selalu dalam keberkahan."

Abi menulis itu di halaman pesbuknya tepat pada hari pernikahanku. Aku menangis sejadi-jadinya ketika membaca itu lima tahun kemudian. Terbayang olehku segala salah dan dosa. Teringat olehku segala khianat yang pernah aku lakukan. Abi dan Umi selalu menyayangiku, tapi tidak denganku. Bagiku mereka berdua hanya penghalang. Ketulusan mereka tak diragukan lagi. Umi yang melahirkanku, mengurusku sejak lahir sendiri, mebiayai hidupku sendiri tanpa ayah kandungku, sebenarnya cukup menjadi bukti begitu menyayanginya Umi terhadapku. Abi dengan segala kerendahan hati dan kesabarannya menjagaku yang sebenarnya bukan anak kandungnya, cukup menjadi bukti betapa Abi mencintaiku. Tapi apa yang aku lakukan untuk mereka? Tak ada.

***

Kini, aku terbaring lemah di sebuah Rumah Sakit di Subang tanpa daya. Bayi dalam kandunganku sudah dipastikan meninggal. Tinggal aku berjuang hidup dan mati. Abi ada di sampingku, begitu juga Umi. Aku tidak melihat ayah kandungku. Hanya mereka berdua dan suamiku yang ada di sampingku. Aku hanya bisa mendengar bacaan Al-quran yang Abi dan Umi baca. Suamiku tidak bisa membaca Al-quran. Sesekali suara Abi terdengar bergetar. Sampai pada ayat terkhir surah Yasin, aku tidak mendengar apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun