Mohon tunggu...
HADI PURWADI
HADI PURWADI Mohon Tunggu... -

saya bukan siapa-siapa -- sebutir debu di alam semesta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kaca (Mata) Hati

29 Maret 2012   16:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13330470781441169409

[caption id="attachment_179128" align="aligncenter" width="612" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Saya paling senang meledek kawan-kawan yang berkacamata. Apalagi jika kawan saya itu usianya beberapa "generasi" di bawah saya. Tidak peduli lelaki atau perempuan. Pokoknya dijamin puas terkencing-kencing menjadi objek olok-olok saya. Beberapa kawan muda saya, khususnya yang perempuan -- yang karena satu dan lain hal terpaksa harus sering bertemu dengan saya -- bahkan rela menanggalkan frame kaca matanya (demi menghindari teror saya). Mereka pikir saya tidak bisa melihat soft lens-nya. Sebetulnya saya masih bisa membedakan mata yang asli & yang dilapisi soft lens, tetapi tanpa frame menggantung di telinga, saya memang sering melewatkannya. Terus terang saya sangat bangga dengan kedua mata saya. Meskipun sudah "old fashion" tapi mata saya masih sehat, awas, berfungsi dengan sangat baik, dan yang terpenting : tidak berkaca mata. Ulangi: TIDAK BERKACA MATA! Bagi saya mengenakan kaca mata adalah aib. Identik dengan pikun, tua, uzur, sakit, buta, dan sejenisnya. Itulah mengapa saya suka membusungkan dada dan senang sekali mengolok-olok kawan-kawan muda saya yang berkaca mata.

***

Suatu ketika ada sebuah acara -- saya lupa -- tepatnya isteri saya punya acara. Dan di situ ada stand kaca mata. Iseng-iseng saya mendekat & mata saya diperiksa. Gratis. Saya sangat optimis, pasti kondisi mata saya sangat prima karena seumur hidup saya tidak pernah ada keluhan sedikitpun dengan kedua mata saya. Ternyata benar! Benar-benar salah! Kedua mata saya silinder cukup parah. Nyaris skala dua. Singkat cerita mulai saat itu saya harus mengenakan kaca mata. Sebetulnya bukan "harus" tetapi saya memilih mengenakan kaca mata karena dengan bantuan benda yang saya anggap "aib" itu ternyata pandangan saya jauh lebih jernih, terang & jelas. Saya baru menyadari bahwa ternyata selama ini mata saya blur, berbayang-bayang & kabur. Apa boleh buat saya harus menanggung karma -- menjadi tertawaan kawan-kawan muda saya.

"Pantesan kalo bawa mobil seperti keong, ternyata sopirnya tua, pikun & sudah rabun lagi.."

Ya. Ya. Ya. Apa boleh buat kawan-kawan. Begitulah adanya. Saya harus menerima karma saya. [Tetapi diam-diam saya mengkawatirkan:  jangan-jangan bukan hanya mata saya yang "tidak bisa melihat dengan jernih". Jangan-jangan hati saya juga "blur", "kabur", "silindris"  & "berbayang-bayang". Adakah "kaca mata" untuk hati?]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun