Mohon tunggu...
eka purwanto
eka purwanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kenapa Harus Golput?

2 Februari 2019   04:06 Diperbarui: 2 Februari 2019   05:07 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blog saya di Kompasiana.com berjudul "Adakah Partai Golput" ternyata menuai beragam reaksi dari rekan-rekan partai. Ada yang menyayangkan. Yang lain heran. Ada yang mencemooh. Ada juga yang mengatakan, "its okay. Itu hakmu". Pokoknya beragam. Komentar pedas, ternyata malah datang dari orang tua sendiri. Tapi apa boleh buat, sang garuda sudah lepas dari sangkar. "Garuda tak lagi di dadaku".

Inti dari tulisan itu berangkat dari sebuah kekecewaan seorang anggota partai Gerindra yang merasa telah turut membangun partai itu dari nol hingga besar seperti saat ini.  

Dulu, sebelum melangkah masuk ruang politik praktis, saya sempat ditanya orang tua.
"Nurani kamu sudah siap belum. Kalau belum siap jangan jadi politisi, mending teruskan kiprahmu di dunia jurnalitstik" begitu pesan orang tua yang hingga saat ini pun masih nempel di benak.

Ternyata kalimat itu terasa ketika saya sudah melangkah setengah jalan. Banyak yang bertentangan dengan nurani. Kita harus manut pada yang berkuasa walaupun salah.  Benar dan salah bukan pilihan. Kalau mau bertahan maka pilihannya adalah ikut yang salah. Nurani ? Preeeett ! Buang jauh-jauh jika ingin beriringan dengan kekuasaan.

Karena saya ikut yang benar tapi tidak berkuasa, akhirnya harus tersingkir dari panggung kahidupan. Tapi saya bersyukur. "Nurani gue masih aman, belum tergadaikan". 

Kali ini saya terpaksa harus sedikit "riya" untuk memberi penegasan kenapa saya memilih golput. Sekretariat DPC, pertama kali bertempat di rumah orang tua saya. Setiap malam, waktu itu, saya harus begadang menginput data 2000 KTP sebagai syarat verifikasi. Itulah awal Gerindra merangkak menuju Pileg 2009.

Saya ungkapkan ini bukan untuk berbalas pamrih. Karena saya tahu itu adalah sebuah loyalitas, sebuah perjuangan untuk partai. Dan partai pun telah memberi saya reward dengan memunculkan nama saya dalam daftar calon legislative untuk dua kali pileg, 2009 dan 2014. Meski gagal, tapi toh saya telah berjuang memberikan suara untuk partai.

Dari tahun ke tahun, konflik ternyata selalu mambayangi partai ini. Hingga suatu saat, terjadi silang pendapat antara kami, dengan Ketua DPC. Upaya damai yang dimediasi langsung oleh Ketua Umum yang waktu itu dijabat Ir. Suhardi (alm). Ternyata deadlock.

Sejak itu, tahun 2014, kami tak lagi aktif di sekretariat DPC. Sebanyak 17 orang pengurus DPC, 12 kader diantaranya terpaksa non aktif dan tenggelam untuk selamanya. Hanya sesekali aktif sebagai relawan ketika Gerindra mengusung calon gubernur Jawa Barat. Selebihnya lebih banyak tiarap membisu.

Memang ada anggota barisan sakit hati yang hijrah ke partai lain. Saya masih tetap wait and see,  tidak kemana-mana dan memang tidak akan balik kanan masuk partai lain.   

Sampai saat ini, saya tidak punya dan tidak pernah tahu SK pemberhentian saya sebagai pengurus DPC. Saya coba mempertahankan garuda tetap di dadaku selama kurang lebih 4 tahun, dari 2014 sampai 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun