Namanya diabadikan sebagai nama Bandar di Surabaya, serta nama hutan di Bandung. Lulusan dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang  Institut Teknologi Bandung, Ir Juanda sebetulnya sempat ditawari untuk menjadi asisten dosen dengan gaji lumayan. Namun ia lebih memilih mengabdikan diri di Sekolah Muhammadiyah. Dalam pengakuannya, Juanda ingat pesan sang ayah, agar ia mengenal Muhammadiyah. Tetapi kenyataannya, Ir Juanda bukan hanya mengenal, tetapi ikut aktif di Muhammadiyah bahkan menjadi direktur Sekolah Muhammadiyah.
Selama memimpin sekolah, Juanda dikenal sebagai sosok yang kalem tetapi disegani. Ia berhasil membawa sekolah Muhammadiyah memiliki kualitas sejajar dengan sekolah Belanda. Barangkali, dari pengalaman inilah di kemudian hari ia mampu tampil menjadi salah satu tokoh dan pemimpin bangsa yang berkontribusi besar dalam menjaga kedaulatan bangsa.
Posisi di pemerintahan, pernah menjadi perdana menteri ke-10, dalam rentang tahun 1957-1959, pernah pula menjadi menteri keuangan, menteri pertahanan, menteri perhubungan dan pernah pula menjadi menteri pekerjaan umum. Bahkan ketika Mohammad Hatta mundur dari jabatan wakil presiden, Juanda menjadi orang kepercayaan Soekarno.Â
Namun dari sekian peran yang dilakukan priyayi Sunda itu, yang paling dikenal barangkali adalah Deklarasi Djoeanda pada 1957. Inti dari deklarasi tersebut, laut yang berada di sekitar, di antara dan dalam kepulauan Indonesia merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Deklarasi ini di kemudian hari menjadi acuan dalam pembentukan hukum laut internasional. PBB menetapkan hukum laut internasional pada 1982, ketika Menteri Luar Negeri Indonesia dijabat Moechtar Koesoemaatmadja.Â