Jika ada satu kampung yang menjadi tempat lahir lebih dari satu pahlawan nasional barangkali Kampung Kauman patut dicatat. Kampung yang terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Yogyakarta ini memang memiliki keunikan tersendiri. Kampung ini merupakan tempat tinggal para abdi dalem (pegawai) Keraton Yogyakarta khususnya yang menangani kegiatan keagamaan Islam.Â
Dosen UGM sekaligus Sejarawan asli Kauman, Ahmad Adaby Darban, dalam buku Sejarah Kauman mengulas pada awalnya masyarakat Kauman hidup tertutup. Mereka merasa status sosialnya lebih tinggi dibanding kampung-kampung lain. Jabatan sebagai abdi dalem Keraton memang dipandang memiliki prestise. Selain itu, para istri abdi dalem juga memiliki usaha batik, yang kemudian berkembang pesat. Sehingga banyak saudagar yang hidup berkecukupan dan masyarakat Kauman dalam kondisi makmur.Â
Dari segi pendidikan, warga Kauman banyak mengkaji ilmu di Langgar-langgar kecil yang ada di beberapa sudut kampung. Masing-masing memiliki Kiai sebagai pengajar tetap. Ahmad Adaby Darban dalam buku Sejarah Kauman menyebut:
1. Langgar Lor (Utara) dipimpin oleh KH. Muhammad Noer dilanjutkan KH. Humam dengan sebutan Jam'iyyah Nurriyah.
2. Langgar Wetan (Timur) dipimpin KH. Abdurrahman.
3. Langgar Faqih dipimpin Ketib Faqih.
4. Langgar Kidul dipimpin Ketib Amin atau KH Ahmad Dahlan.
5. Langgar Duwur (Langgar Kulon) dipimpin KH. Muhsen diberi nama Jam'iyyah Matla'ul anwar.
Dari sekian langgar itu, terdapat keunikan di Langgar Kidul yang dipimpin KH Ahmad Dahlan karena selain mengajarkan agama, KH Ahmad Dahlan juga mengenalkan pemikiran-pemikiran reformis Islam.
Pada waktu itu umumnya para santri di Kauman banyak mempelajari Kitab-kitab Fikih Mahzab Syafi'i, tasawuf Ihya' Ulummuddin Imam Al Ghazali dan Al Quran hanya diajarkan bacaannya saja. Untuk menerjemahkan masih dianggap tabu. Demikian pula khutbah Jumat, disampaikan dalam Bahasa Arab sehingga hanya sedikit umat Islam yang paham.
Kehadiran KH. Ahmad Dahlan membawa perubahan signifikan. Ia telah menunaikan haji di usia 15 tahun. Seusai musim haji, ia tidak langsung pulang, melainkan belajar tentang Islam di Makkah. Di sanalah ia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran reformis Islam semacam Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Nuansa perjuangan kemerdekaan turut memberikan semangat kepada para reformis Islam untuk melepaskan diri dari penjajahan.