Mohon tunggu...
Eko S Nurcahyadi
Eko S Nurcahyadi Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis, Pegiat Literasi, aktivis GP Ansor

Aktivis di Ormas, Pegiat Literasi, Pendididikan di Pesantren NU, Profesional Muda

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Megeng dan Padusan Jelang Ramadan di Temanggung

18 Mei 2020   15:46 Diperbarui: 18 Mei 2020   15:43 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megeng yang sepi di musim pandemi dok mediaindonesia.com

Akbarnya bulan Ramadan sanggup melahirkan aneka macam tradisi di berbagai daerah. Warna warni tradisi hasil kreasi para wali sepuh dan juga tetua adat bermunculan di seantero negeri.

Di Semarang ada tradisi dug deran yang berpusat di kota lama. Di Kudus tak kalah meriah ada tradisi dandangan berpusat di sekitar masjid Menara Kudus. Ini adalah contoh tradisi menyambut datangnya Ramadan dan tergolong bersifat seremonial yang awalnya diinisiasi oleh pemerintah zaman dahulu.

Lain lagi di daerah Temanggung dan sekitarnya yang memiliki tradisi megeng jelang Ramadan. Tradisi itu cukup melembaga walaupun murni dilakukan oleh masyarakat. Saya melihat munculnya tradisi megeng lepas dari inisiasi unsur pamong praja. Bahkan sepertinya lembaga ulama yang notabene non pemerintah pun bukan pihak inisiator tradisi itu.

Dekade belakangan tradisi megeng dibarengi oleh tradisi padusan yang juga merupakan tradisi yang tumbuh secara alami. Padusan yang semula hanya satu bentuk ritual pribadi dengan melakukan mandi keramas di kedung sebagai simbol penyucian hati menjelang pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. 

Pembelokan kemudian terjadi atas logika kapital yang menjadikannya sebagai momen bisnis menggiurkan bagi pemodal bersama organizer-nya.

Alhasil perkawinan mutualistik antara tradisi dan modal bersama-sama melahirkan satu bentuk atraksi kombinasi antara pseudo tradisi dan rekreasi (hiburan). Ironi kemudian muncul ketika tradisi baru padusan massal yang sedianya memiliki bobot spiritual karena bergamit dengan hiburan yang dilandasi pragmatisme modal menjadi miskin makna.

Tradisi yang Luruh

Kembali ke tradisi megeng jelang Ramadan di Temanggung. Praktik megeng bisa dideskripsikan sebagai ungkapan rasa gembira menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Bentuknya sebenarnya jauh dari aroma ritual. Tetapi kaya akan makna yang mendalam.

Ada sementara tumpah tindih definisi antara tradisi megeng dengan istilah punggahan dan nyadran yang saya dapati di berbagai jurnal budaya. Karena itu penulis mendasarkan diri pada pengalaman riil di masa kecil yang cukup lama menjadi bagian dari banyak even dan ritual tradisi di dusun Pacelukan desa Wadas kecamatan Kandangan kabupaten Temanggung. Di dusun tempat penulis tinggal bersama orang tua saya dapati ketiga nomenklatur tradisi itu mempunyai praktik masing-masing.

Nyadran di dusun Pacelukan Temanggung dok eko s nurcahyadi
Nyadran di dusun Pacelukan Temanggung dok eko s nurcahyadi
Di era tujuh puluhan, delapan puluhan hingga awal sembilan puluhan penulis mengalami sendiri spiritualitas megeng. Ceritanya setiap akhir bulan Sakban satu hari menjelang Ramadan sebagian besar warga masyarakat keluar rumah menuju pasar-pasar terdekat.

Tujuannya adalah belanja beberapa kebutuhan penting menghadapi Ramadan. Pada momen itu banyak kebutuhan pokok keluarga dipenuhi untuk menjamin khusyuknya ibadah di bulan puasa. Bersamaan dengan itu anak-anak juga dimanjakan dengan aneka macam barang dan makanan untuk turut bisa merasakan kebahagiaan menjemput datangnya bulan suci yang dimuliakan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun