Mohon tunggu...
Eko Romeo Yudiono
Eko Romeo Yudiono Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis itu Indah

Menulislah karena dengan menulis kamu akan belajar mensyukuri nikmat Allah SWT. Dengan menulis kita juga akan menyadari bahwa pengetahuan kita sesungguhnya ibarat setetes air di lautan bila dibandingkan dengan keangungan Allah SWT. Wallahu A'lam Bishawab.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mila

16 November 2020   23:37 Diperbarui: 17 November 2020   00:45 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Meski sudah berusia kepala tiga, bodi Mila memang tidak banyak berubah. Tinggi semampai, kulit bersih, mata berbinar dan rambut hitam sebahu dan bodi langsing  dan wajah cantik membuat banyak pria-pria menggodanya. Disadari atau tidak, warung pecelnya ramai juga dikarenakan kecantikan Mila.

Mila kembali melihat jarum jam di dinding. Hampir pukul 08.00 WIB. Mila semakin resah karena tidak biasanya Kabul tidak mampir ke warungnya. Karena setiap pagi, paling lambat pukul 07.30 WIB, Kabul sudah sampai di warungnya.

Mila pun segera menyiapkan sarapan untuk Kabul. Tidak perlu ditanya lagi, karena dia sudah hafal dengan menu kesukaan Kabul. Pecel dengan lauk telor dadar dan segelas tes tawar menjadi menu andalan orang yang diam-diam memberikan warna di hati Mila.

Tapi, hingga pukul 08.00, Kabul tidak juga muncul dengan motor Yamaha Vega Birunya. Mila makin gundah dan gelisah. Lamunannya buyar ketika Mulyadi, teman baik Kabul tiba-tiba sudah berada di warungnya. Wajah Mulyadi terlihat tidak seperti biasanya. Muram dan sedih. Juga sedikit resah. "Ada apa Cak Mul," sergah Mila. Mulyadi hanya diam. Dia seolah ragu dengan apa yang ingin dikatakannya. "Begini Dik Mila. Ada kabar yang ingin aku sampaikan,". "Ada apa Cak Mul, jangan bikin aku tambah gundah," sergah Mila lagi.

"Tadi pagi, Cak Kabul kecelakaan di kawasan Waru Doyong. Nyawanya tidak bisa diselamatkan," ungkap Cak Mul. Mila seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Selanjutnya, hanya bayangan Cak Mul yang seolah makin pudar, menghitam lalu gelap. Mila pingsan.

Taburan bunga warna-warni sore itu tidak bisa menggantikan perasaan Mila. Airmatanya seolah sudah habis. Tertumpah di kerudung hitam yang menyembunyikan sembab airmata.

Ia enggan beranjak dari pusara Kabul. Lelaki yang sudah memberikannya harapan. Harapan tentang kehidupan yang awalnya semu. Harapan tinggi yang ia coba gapai dengan lelaki yang sudah mengisi bagian dari relung hatinya, yang kini tiada.

Menjelang adzan Magrib, Mila melangkah melewati pintu pemakaman umum tempat Kabul beristirahat untuk selama-lamanya. "Selamat jalan Cak. Semoga damai di sana,"gumam Mila dengan langkah gontai dan tertunduk. (*)

Cerita Ini Hanya Fiktif Belaka. Jika Ada Kesamaan Nama Tokoh, Tempat Kejadian Ataupun Cerita, Itu Adalah Kebetulan Semata Dan Tidak Ada Unsur Kesengajaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun