Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Bersetia Hati di Bawah Rezim Tangan Besi (Resensi Buku Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer)

17 Agustus 2020   11:04 Diperbarui: 17 Agustus 2020   11:28 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia bahkan tidak menunjukan respon bahagia terhadap pertunjukkan dua malam suntuk yang diadakan Lurah Kaliwangan untuk selamatan sunatannya. Baginya keinginan pada acara itu hanya menyedekahi para pengemis. Pram secara sederhana menunjukkan logika berfikir waras kepada pembaca bahwa kemiskinan tidak bisa ditolong oleh hiburan seperti pagelaran wayang.

Pada adegan selanjutnya, Pram secara segar menyampaikan kritik atas kemiskinan itu dengan cara yang humor. Salah satu dari banyak pengemis itu belakangan diketahui merupakan kerabat dekat si kaya, mantan sodanco (komandan peleton) PETA bernama Hardo yang gagal melakukan pemberontakan terhadap Jepang dan diburu selama setengah tahun lebih. Ramli yang mengenalinya kemudian memerintahkan Lurah Kaliwangan untuk mencarinya. 

"Edan. Sungguh edan. Aku, Lurah Kaliwangan. Aku? Aku disuruh mencari kere oleh biniku? dan ini tidak bisa kusuhkan pada orang lain. bisa celaka aku" (hlm.10). Terdapat dua pesan tersirat disampaikan Pram. Pertama, Pram menunjukkan kepada pembaca bahwa pengemis adalah manusia utuh yang seharusnya mendapat perhatian penting. Kedua, selama elitisme atau sifat adigang, adigung dan adiguna masih bercokol di kesadaran penguasa maka suara si miskin tidak akan didengar. 

Pun apabila didengar, hanyalah suara orang suruhan penguasa yang kerap memberitakan kabar-kabar enak didengar meskipun isinya kebohongan. Padahal, wajah kemiskinan nampak jelas ketika Lurah Kaliwangan melakukan dialog dengan Hardo yang menjadi gembel. "Kalau pergi ke kota, di mana-mana kulihat anak kecil menjelempah di pinggir-pinggir jalan tiada bernyawa lagi. di depan-depan pasar dan toko, di bawah jembatan, dalam tong sampah dalam selokan semua bangkai.... bangkai saja, bangkai manusia. Bangkai orang dewasa, anak-anak dan orang tua...

Dan sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir dikumpulkannya dulu daun jati bekas pembungkus atau daun pisang, dan daun-daun itu diselimutkan pada badannya, kemudian dia meninggallah. Hmm, seolah-olah mereka itu sudah mengerti, bahwa dua jam lagi mereka akan mati dan tahu bahwa tak seorang pun di dunia ini mau mengurus bangkainya dan menyucikannya. Sekarang memang zaman gila (halaman 22)".

Sisi menarik lainnya dari novel ini yakni Pram tidak menggambarkan pemberontakan atau perlawanan seperti penulis lainnya. Porsi perlawanan fisik hanya ditampilkan Pram dengan porsi yang sangat kecil itupun dipuncak klimaks menuju ending. Pram lebih melihat bagaimana di dalam gerakan perlawanan itu selalu ada yang berkhianat. 

Di awal cerita pembaca disuguhkan informasi tentang pengkhianatan Sodanco Karmin namun jauh ke belakang bukanlah Sodanco Karmin yang Pram gambarkan sebagai pengkhianat gerakan. Tindakan Sodanco Karmin yang menggagalkan aksi pemberontakan Pasukan PETA lebih tepat disebut sebagai khifal daripada pengkhianatan. 

Ia didorong oleh motif sakit hati sebab kekasihnya telah menjadi kekasih Jepang, kondisi psikologis, kehilangan harapan yang diperjuangkannya itulah yang menjadikan ia khilaf. Terbukti, ketika bab akhir buku, Sodanco Karmin hendak kembali dalam barisan perjuangan, pun ia berusaha menolong Hardo dan kekasihnya, Ningsih. 

Tentu saja sebagai orang yang terlanjur dianggap pengkhianat oleh teman-teman pasukannya dan oleh masyarakat, Sodanco Karmin telah siap juga menghadapi penghakiman rakyat. Namun, setelah melakukan pembacaan cermat, pengkhianat yang dimaksudkan Pram dalam novel ini lebih tepatnya adalah mereka para pembesar yang justru menjadi kaki tangan penjajah seperti Lurah Kaliwangan, Wedana Karangjati. "Orang yang bekerja dalam pemerintahan penindasan termasuk penindas juga. Dalam hal apapun juga sama saja." (halaman 28).

Setelah aksi pemberontakan gagal Sodanco Hardo dengan kekuatan pasukannya yang tidak sebanding dihadpkan dengan tiga pilihan : menyerah, kompromi, lari. Pada moment inilah pembaca dapat melihat secara jelas watak Pram sebagai penulis cerita. Pram tidak menggambarkan perlawanan terhadap penjajahan dengan cara gila. 

Artinya, ia tidak menggambarkan dengan jumlah kekuatan yang kecil melawan penjajah di detik itu sama saja hanyalah perbuatan menyerah, membuang nyawa secara goblok dan sia-sia. Pram juga tidak menggambarkan tokoh utamanya Den Hardo dan pasukannya kompromis. Artinya Pram secara bulat dan tegas mengutuk penjajahan penindasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun