Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Silence” (Shusaku Endo): Manusia Memang Rapuh dan Menjijikkan, Tapi Tuhan Ogah Meninggalkannya

8 Mei 2009   04:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:10 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Shusaku Endo (1923-1996) tampaknya senang mengobrak-abrik pakem religiositas. Ini terjadi ketika atas anjuran seorang teman, saya membaca Silence (Jepang: Chinmoku), karya Endo yang ditulis pada tahun 1966 dan pernah dibuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas pada tahun 1980-an (kini novel tersebut diterbitkan secara utuh pada akhir 2008 oleh Gramedia-mungkin "mengantisipasi" sepak terjang Martin Scorsese yang sedang memfilmkan novel ini).

 

Silence jelas mengganggu dan membuat gelisah. Ia sangat irasional dan absurd-setidaknya ia irasional dan absurd untuk rasionalitas dan batas kewajaran pada umumnya. Namun, Endo memang punya bakat untuk itu. Tulisan-tulisannya seolah-olah menjelmakan-dengan cara yang berbeda- tema yang umum di Jepang pasca-Perang Dunia Kedua, seperti kemurungan, kesuraman, dan keterasingan. Orisinalitasnya terletak bukan hanya karena ia menuangkannya secara berbeda, tetapi juga mencoba mencari tema-tema tersembunyi dari tema-tema umum itu.  Endo tampaknya merasa aman di dalam tema-tema tersembunyi hasil temuannya itu: keindahan dari keburukan; kebenaran dari kesalahan; penebusan dari dosa. Sudah jelas, warna anti-hero sangat kental dalam tulisan-tulisan semacam itu.

 

Saya jadi teringat pada novelnya yang lain yang dulu pernah diterbitkan oleh Gramedia juga: Skandal (1998). Protagonis dalam Skandal adalah Suguro, seorang novelis Jepang beragama Katolik-bayangkan ini semacam "alter ego" Endo sendiri! Sebagai novelis Katolik, Suguro mempunyai semacam sistem nilai yang dipegangnya. Sistem atau tata nilai ini tampak dalam novel-novelnya. Namun, semenjak pengalaman aneh setelah ia menerima penghargaan-dideskripsikan pada awal novel-ia mengalami kejadian yang seolah-oleh menuntunnya melalui semacam labirin, di mana di ujungnya ia harus mendapati kenyataan pahit: ia tidak sebaik yang dibayangkan. Manusia-seperti kata Freud-ternyata memendam hasrat-hasrat "tak senonohnya" di dalam lubang kuburan bawah sadarnya. Si protagonis baru tahu bahwa di samping sebagai novelis terpandang, terpandang, yang beragama Katolik, ia pun ternyata suka keluyuran di kawasan "lampu merah" di Tokyo.

 

Menjijikkan! Shusaku Endo, barangkali sambil menertawakan dirinya, secara puas dan lega seolah berhasil menyingkapkan suatu wahyu ilahi: kebaikan berdampingan dengan keburukan-keindahan dan keagungan bercampur baur dengan hal-hal yang menjijikkan dan nista. Bersama si novelis hasil ciptaannya, si novelis asli-yaitu Endo sendiri-berusaha mencari jalan pembebasan dari situasi penuh paradoks ini: dapatkah manusia menemukan suatu estetika dari kenistaan ini? Suatu estetika kejelekan? Suatu penemuan kebenaran-dan bersama dengannya: pelepasan-dari lendir-lendir dosa manusia?

 

Tema semacam itu tampaknya menjadi suatu favorit bagi Endo. Ia seperti berusaha membocorkan rahasia terdalam dalam hidup ini kepada para pembacanya: apa yang tampaknya sebagai kontradiksi sebenarnya hanyalah suatu paradoks. Jika Endo bernarasi mengenai paradoks, apa itu paradoks sebenarnya? Baginya, paradoks adalah sesuatu yang seolah-olah tampaknya berkontradiksi (bertentangan)di dalam dirinya, tetapi ternyata tidak. Apa yang dibutuhkan dari kita adalah mencoba menceburkan diri ke dalam suatu irasionalitas atau absurditas-atau tepatnya: suatu rasionalitas dalam arti sebenarnya tetapi dengan cara yang sama sekali baru, bahkan berdimensi lain. Di sinilah, apa yang tampaknya irasional dan absurd dapat masuk ke dalam bingkai gambar secara utuh.

 

Dalam Silence, Endo bermain-main dengan apa yang tampaknya kontradiksi, dan ia mencoba untuk menyingkapkannya sebagai suatu paradoks. Bagaikan seorang "nabi", ia mencoba mewartakan paradoks ini kepada para pembaca, sembari menuntut mereka melewati duri-duri yang penuh dengan kontradiksi:  pertama, "murtadnya" Rodrigues dan Ferreira dan kedua, dalam "bisunya" Tuhan.

 

Plot Silence sederhana: pada abad ke-17, Rodrigues, seorang Yesuit Portugal, dikirim ke Jepang untuk membantu orang-orang Kristen di sana yang tengah dianiaya oleh penguasa setempat. Sembari membantu mereka, Rodrigues juga punya misi lain: mencari tahu mengenai kabar guru dan misionaris seniornya, Ferreira, yang dikabarkan telah murtad karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dialami. Kisah ini berkisar pengalaman pendaratan pertama Rodrigues di Jepang sampai ia harus mengalami kenyataan pahit di penghujung kisah. Endo menuliskan novel ini berdasarkan "oral history" yang dituturkan melalui para leluhur orang Katolik di Jepang (dengan begitu, ini dapat pula disebut sebagai "novel historis" yang menceritakan ulang kisah mengenai penganiayaan orang-orang kakure kirishitan-Kristen tersembunyi-di Jepang).

 

Endo terampil dalam mengeksploitasi perasaan manusia. Di dalam Silence, ia secara cermat bernarasi sehingga suasana batin yang menyiksa Rodrigues tampak berjalan menuju klimaks. Dari awal perjalanannya yang penuh heroik di Portugal, kebingungan dan keheranan di Goa, ketakutan di desa Tomogi, serta masa-masa pelarian yang penuh dengan perasaan penuh tekad, ketakutan, kejatuhan, , dan ending yang menusuk-nusuk perasaan-atau tepatnya rasionalitas-orang Kristen mana pun.  Akhir hidup Rodrigues di dalam Novel-sebagaimana kelihatan dalam pilihan akhirnya- tampak irasional dan absurd (tentu dari kaca mata "rasionalitas" kekristenan).

 

Kita seolah dibiarkan tenggelam dalam irasionalitas dan absurditas itu, walaupun Endo tampaknya memberi kesempatan kepada pembaca untuk menafsirkan ending dari novel ini: apakah Rodrigues akhirnya memang mengikuti Ferreira yang murtad ataukah Kristus-sebagaimana tampak pada adegan terakhir-menegaskan identifikasi-Nya yang mutlak dengan orang-orang yang sedang menderita dan dianiaya, dengan cara mengizinkan mereka untuk seolah-olah menganiaya kembali diri-Nya?  Dengan gaya thriller yang berujung "agak" twisted ending, Endo mengakhiri novel ini dengan gagah berani tanpa membiarkan pembaca mengambil napas sedikit pun.

 

Pembaca ditinggalkan dengan perasaan sakit dan tertusuk: mengapa Tuhan membiarkan kontradiksi ini? Endo, di lain pihak, menertawakan rasionalitas usang dari para pembaca, sembari menyingkapkan rasionalitas baru yang menjungkirbalikkan kontradiksi menjadi paradoks belaka. Jika Endo memaksudkan ending novel ini sebagai kontradiksi belaka, tampaknya hal ini sudah memenuhi syarat: Rodrigues yang awalnya gagah dan tampak tangguh, akhirnya tidak lebih daripada seorang Kichijiro-seorang Jepang penganut Kristen yang murtad "berkali-kali". Kontradiksi mempunyai dilemanya sendiri.

 

Namun, bukan kontradiksi, melainkan paradoks yang hendak disingkapkan Endo. Dan paradoks terbesar dalam novel ini adalah kebisuan Allah sendiri. Tuhan yang diam di hadapan penderitaan dan kesengsaraan umat-Nya. Endo secara orisinal mengangkat misteri terbesar kehidupan ini: Dari mana datangnya penderitaan? Dan mengapa Tuhan tidak berbuat apa-apa terhadap penderitaan? Di mana Tuhan ketika bencana tsunami menyapu sebagian wilayah Asia Tenggara pada tahun 2004? Di mana Tuhan ketika terjadi holocaust? Di mana Tuhan ketika ratusan ribu orang di Afrika mati kelaparan? Di mana Tuhan ketika derita, bencana, dan kutuk menimpa anak-anak manusia ciptaan-Nya?

 

Endo menyingkapkan paradoks tersebut secara tersamar: Kristus yang tersalib dan menderita, kembali menegaskan natur-Nya yang demikian, dengan kembali menderita bersama orang-orang yang sedang teraniaya. Coba perhatikan ini-semacam penyingkapan ilahi di dalam novel ini:

 

"Injaklah! Injak! Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah aku memanggul salibku!"  (hlm. 269).

 

Citra itulah yang muncul dalam benak Endo ketika ia mengamati fumie-pahatan dari kayu atau batu yang biasanya di permukaannya terpampang rupa Yesus atau Maria-di museum Nagasaki (Fumie inilah yang harus diinjak oleh orang-orang Jepang di hadapan para petugas pada masa itu untuk membuktikan bahwa mereka bukan penganut Kristen).

 

Dalam "kejelekan" wajah Kristus dan Maria seperti tampak pada fumie yang diinjak-injak itulah Endo memperoleh semacam penyingkapan mengenai teka-teki teologis yang ternyata berupa paradoks itu. Seperti dikatakan oleh Fumitaka Matsuoka:

 

When Endo saw a fumie in a Nagasaki museum, he thought not only of those brave martyrs who refused to trample but also those who abandoned their faith. The question he poses is this: "Who is Jesus Christ for those who have failed in life, for those who are overcome by temptation and continue to bear the burden of guilt?" (Fumitaka Matsuoka, "The Christology of Shusaku Endo", Theology Today vol. 39, No. 2 July 1982).

 

Endo tidak gentar dengan penyingkapan rahasia ini-tetapi justru menggumulinya:  Yesus mati bukan hanya demi para martir yang menolak menyangkal imannya, tetapi juga untuk mereka yang gagal dalam hidup, mereka yang dikalahkan godaan dan kelemahan lainnya, serta terpaksa harus menanggung beban rasa bersalah tersebut. Jika Yesus sangat berarti bagi para martir yang gagah berani tersebut, tentu Yesus lebih berarti lagi bagi orang-orang seperti Kichijiro dan Rodrigues-mereka yang lemah dan pengecut-karena justru kasih pengampunan-Nya lebih dibutuhkan orang-orang terakhir ini.

 

Apakah Yesus toleran terhadap orang-orang yang sedemikian lemahnya sehingga harus menolak-Nya-bahkan hanya sebagai penolakan pura-pura? Ya. Itulah jawaban Endo secara tuntas. Yesus mati di kayu salib juga demi orang-orang seperti itu, orang-orang yang terlalu lemah untuk menunjukkan imannya, orang yang terlalu pengecut menghadapi rasa sakit dan kengerian psikologis yang sangat dalam.

 

Dengan demikian, Endo secara tuntas menggambarkan Allah yang memilih untuk tidak menghapuskan penderitaan manusia, tetapi justru ikut menderita bersama mereka. Itulah Allah yang dilihat Endo seperti yang tampak dalam diri Kristus yang tersalib-juga Kristus yang wajah-Nya cekung dan rata dalam potongan fumie karena berkali-kali diinjak-injak oleh "para pengecut".

 

Allah tidak tampil dalam sosok "Bapa" yang berwibawa dan ditakuti oleh anak-anak-Nya, melainkan muncul sebagai sosok Ibu yang hadir dalam diam, yang tangan-Nya merangkul penuh kasih anak-anak-Nya, bersama dengan mereka ikut menderita, turut merasakan penderitaan mereka. Itulah kristologi khas Endo-kristologi agak feminis yang dibuat oleh seorang laki-laki Jepang, bahkan ketika feminisme belum menjadi mode di dunia.

 

Dan, Endo pun menuntaskan paradoks yang dimunculkannya sendiri dalam novel ini: Allah yang tampaknya bisu ternyata tidak bisu-ia ikut menderita bersama orang-orang yang teraniaya. Rodrigues yang tampaknya murtad ternyata bukanlah "Yudas"-ia hanya sekadar mengikuti panggilan Tuhan yang menoleransi kepengecutannya serta menyuruhnya mengambil langkah tidak populer itu: ikut menderita sebagaimana Kristus pun menderita (jika Kristus menderita disalib dan diinjak, Rodrigues dan Kichijiro menderita batin yang sangat dalam: menanggung rasa malu dan hina yang tak tertahankan karena telah "menyangkal" Tuhan mereka sendiri).

 

Endo memecahkan teka-teki teologis terbesar: hakikat Allah dan misteri penderitaan. Namun, ia tetap meninggalkan kita dengan tokoh-tokohnya yang gamang. Ya, Tuhan sudah bersedia teraniaya dan diinjak-injak demi mereka, tetapi mereka tetap tidak dapat melarikan diri dari perasaan hina dan nista yang mencekam mereka. Endo secara kuat menggambarkan ini:

 

"Perasaannya terhadap Ferreira bukan hanya perasaan muak dan benci; ada pula sedikit rasa iba, perasaan mengasihani diri sendiri yang umum di antara dua laki-laki yang mengalami nasib sama. Ya, mereka bagaikan dua anak kembar buruk rupa....Mereka saling membenci keburukrupaan satu sama lain; mereka memandang rendah satu sama lain" (hlm. 277)

 

Mengapa? Mengapa bahkan setelah Tuhan rela dianiaya dan diinjak-injak oleh umat-Nya yang lemah dan pengecut, orang-orang ini tetap tidak bisa bebas dari luka batin yang dalam? Sepintas, Endo mendeskripsikan penderitaan yang dialami mereka seperti rasa keterasingan yang secara khas muncul dalam novel dan film-film Jepang. Barangkali, bungkus keterasingan dan penderitaan memang sama di mana pun juga. Tapi, di dalam Silence, penderitaan dan keterasingan tersebut lebih muncul akibat rasa bersalah yang mendalam akibat kesadaran manusiawi yang timbul bahwa ternyata Tuhan bahkan tetap toleran terhadap kelemahan dan pengkhianatan manusia. Jadi, rasa batin yang tersiksa itu adalah lebih teologis ketimbang antropologis.

 

Kedua "pengecut" ini terasing satu sama lain dan juga dari diri sendiri, bukan karena hubungan mereka berdua atau hubungan mereka dengan orang lain renggang-karena episode ini ditulis pada halaman-halaman akhir novel ini, tentu tidak ada hubungan riil yang terjadi di situ-melainkan karena rasa bersalah yang mendalam. Bagi beberapa orang, rasa bersalah ini sebenarnya merupakan pintu masuk ke tahap penyesalan sempurna, yang ditutup dengan semacam metanoia. Di dalam Silence, tahap tersebut memang absen. Kita hanya dapat menduga mengapa Endo tidak melukiskan tahap-tahap itu-jika memang ada. Barangkali, Endo menganggapnya kurang penting dibandingkan penyingkapkan paradoks tadi. Sementara paradoks tersingkap, Endo merasa bukan tugasnya lagi terkait "nasib" para tokohnya. Ia meninggalkan mereka di hadapan pembaca untuk "dihakimi".

 

Sebelum menghakimi-sebaiknya kita camkan hal berikut: paradoks sudah disingkapkan (dan dipecahkan), tinggallah kita berhadapan dengan keterasingan yang menyakitkan yang dialami oleh para tokoh Silence. Setelah penderitaan fisik, penderitaan batin pun mendera. Apakah ini karena manusia memang terlalu rapuh atau Tuhan terlampau toleran dengan kerapuhan tersebut? Dan mengapa? Andalah yang jadi hakimnya. ***

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun