Mohon tunggu...
Eko Didik
Eko Didik Mohon Tunggu... Dosen - Penulis blog dan dosen

Penyuka kopi pahit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

5 Fakta Implementasi PPDB SMAN Tahun 2019 dan Implikasinya

3 Juli 2019   22:39 Diperbarui: 4 Juli 2019   09:08 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 ini mengikuti petunjuk dari Permendikbud No. 51 Tahun 2018. Beragam respons disampaikan oleh orang tua calon siswa tentang pelaksanaan PPDB ini. Respons ini pun telah ditanggapi oleh Mendikbud dan jajarannya serta gubernur untuk memberikan solusi yang terbaik dalam implementasi Permendikbud ini. Namun, ada fakta lain dan implikasinya yang berakibat fatal yang mungkin belum disadari oleh beliau.

Inti dari Permendikbud ini, terutama yang tertuang di bagian keempat pasal 26, 27, 29 dan 30,  menyatakan bahwa seleksi penerimaan di jalur zonasi adalah memprioritaskan calon peserta didik yang terdekat dengan sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Untuk PPDB SMAN, beragam kebijakan dan jalur penerimaan diterapkan oleh Pemerintah Provinsi. 

Di Jawa Tengah, jarak ditetapkan berdasarkan jarak kelurahan terhadap sekolah dalam Juknis PPDB 2019. Sesuai Juknis Revisi tersebut, dalam proses seleksi diterapkan 4 jalur, yaitu jalur zonasi murni berdasarkan jarak 60%, jalur zonasi prestasi 20%, jalur prestasi (luar zona) 15% dan jalur perpindahan orang tua 5%.

Nyatanya, implikasi dari kebijakan seleksi zonasi berbasis jarak ini telah mengabaikan hak warga negara. Pantauan hasil seleksi PPDB online SMAN di Jawa Tengah, khususnya kota Semarang di hari ketiga (3 Juli 2019), telah menunjukkan bahwa seleksi zonasi jarak, selain menghalangi warga mendapatkan haknya, juga menyimpang dari tujuan pendidikan dan sistem zonasi itu sendiri. 

Saya yakin Bapak Mendikbud dan Bapak Gubernur telah memahami permasalahan dan kekurangan zonasi jarak tersebut, namun kurang menyadari implikasinya yang fatal. Bahkan, implementasi PPDB zonasi jarak ini  berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 

Berikut 5 fakta dan pandangan saya terkait pelaksanaan seleksi PPDB SMAN zonasi jarak di SMAN Kota Semarang. Saya yakin di tempat / kota lain juga menjumpai fakta-fakta tersebut.  Monggo kalau nanti teman-teman di kota / provinsi lain hendak menyampaikan fakta pelaksanaan seleksi PPDB SMAN (SMPN) di daerah masing-masing. Data ini saya ambil dari portal PPDB Jateng untuk SMAN Kota Semarang. Terima kasih Pemprov Jawa Tengah yang telah menyediakan informasi secara online pelaksanaan PPDB SMAN ini.

Fakta pertama. Jarak terjauh yang bisa diterima melalui jalur zonasi jarak adalah 400m - 5,1km. Silahkan telusuri PPDB Jateng Statistik. Dalam satu zona sekolah, terdapat 35-100 kelurahan dengan jarak bervariasi sampai 17,6 km. Silahkan telusuri PPDB Jateng lokasi rayon.

Dari data tersebut, hanya anak dari 5-10 kelurahan terdekat yang bisa diterima lewat jalur zonasi jarak.  Anak-anak di kelurahan lainnya tercabut haknya untuk dapat bersekolah di zonasi terdekatnya. Permasalahannya adalah jumlah sekolah sedikit (16 SMAN) dan zonasi luas (sampai 100 kelurahan dalam satu zona sekolah).

Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan sesuai UUD pasal 31 ayat 1 telah diabaikan dengan aturan zonasi jarak ini yang menciptakan sekat kaku di sekeling sekolah yang hanya melingkupi sedikit kelurahan terdekat. Kemdikbud dan jajarannya juga abai menyiapkan ketersediaan sekolah sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 2. Dengan kondisi ini, Permendikbud No. 51 Tahun 2018 sebagai payung hukum PPDB zonasi berdasarkan jarak terdekat belum saatnya diterapkan.

Dengan jalur zonasi jarak tersebut, juga berlaku "Tidak perlu menjadi pintar untuk bisa bersaing masuk sekolah, yang penting rumahnya dekat dengan sekolah". Kemana arah pendidikan kita? Demotivasi anak untuk belajar akan terjadi secara masif.

Fakta kedua. Dalam satu zona sekolah, banyak siswa yang diterima di jalur zonasi jarak mempunyai nilai UN  24-26 bahkan kurang (rata-rata nilai MK 6-6,5), sedangkan banyak anak yang tidak diterima mempunyai nilai UN 32-36 (rata-rata nilai MK 8-9). Lihat sampel calon siswa yang diterima di jalur zonasi dan jumlah pendaftar.

Zonasi jarak telah membuat kesenjangan kemampuan siswa di satu SMAN semakin lebar. Distribusi kemampuan siswa dalam satu SMAN semakin lebar, dari yang bernilai UN sangat rendah sampai yang sangat tinggi. Belum lagi kalau siswa jalur zonasi prestasi dan prestasi masuk di SMAN tersebut. Makin nyata kesenjangan kemampuan siswa.

Apakah ini pemerataan yang menjadi tujuan zonasi ini? Bukankah ini seperti prinsip SAMA RATA SAMA RASA bagi anak-anak yang diterima di jalur zonasi, namun mengabaikan keadilan bagi anak-anak lain yang tidak diterima walaupun dalam satu zona.

Kesenjangan kemampuan siswa dalam satu sekolah juga akan mempengaruhi proses pendidikan. Apakah ini sudah dikaji oleh Kemdikbud? Alih-alih pemerataan kualitas sekolah, justru kualitas sekolah akan semakin turun. Kebijakan Kemdikbud tentang zonasi jarak ini kami pandang bertentangan dengan tujuan pendidikan dan tujuan zonasi itu sendiri.

Fakta ketiga. Dalam satu zonasi, tersedia jalur zonasi prestasi 20% untuk anak-anak dengan memperhitungkan nilai UN dan nilai prestasi lainnya. Nilai terendah anak yang dapat diterima di jalur ini antara 28.85 sampai 39. Silahkan lihat di sini.

Anak dalam zona sekolah diharuskan berebut sisa 'kue' dengan banyak anak (dalam zona) lainnya yang terlempar dari zonasi jarak. Bandingkan dengan anak lainnya yang diterima lewat jalur zonasi jarak. Kemdikbud telah mencederai perasaan anak dan orang tuanya.

Kami ragu Kemdikbud dan jajarannya sudah mengkaji jumlah anak yang mungkin  'kurang beruntung' tersebut? Misalnya, berapa jumlah (persen) anak dalam zona sekolah, jarak rumah tidak memenuhi zonasi jarak dan ber'prestasi' (UN rata-rata 8 ke atas), namun tidak bisa sekolah di zona sekolah terdekatnya. Potensi anak tersia-siakan.

Fakta keempat. Untuk sekolah luar zona, tersedia jalur prestasi 15% dengan memperhitungkan nilai UN dan prestasi lainnya. Nilai terendah anak yang dapat diterima di jalur ini 20 sampai 40. Lihat. 

Ada ketimpangan nilai minimal (threshold) antara 1 SMAN dengan SMAN lainnya. Untuk satu SMA, nilai terendah di jalur prestasi ini juga lebih rendah daripada nilai zonasi prestasi. Anak-anak 'berprestasi' yang tidak beruntung di zonasi jarak dan zonasi prestasi di zonanya diharuskan bertarung di luar zona karena justru peluang diterimanya ada di sana.

Hal ini menunjukkan bahwa Kemdikbud melanggar prinsip zonasi itu sendiri, yaitu agar anak dapat bersekolah yang terdekat. Anak malah dipaksa sekolah di luar zona karena tidak bisa diterima dalam zonasi jarak dan zonasi prestasi di zona sekolahnya.

Kami meragukan Kemdikbud mempunyai kajian yang memadai bahwa JARAK TERDEKAT dapat digunakan sebagai parameter seleksi dalam zonasi PPDB ini. Jarak terdekat sebagai parameter seleksi sangat tidak masuk akal dan tidak berkeadilan dengan keadaan saat ini. Alih-alih untuk pemerataan dan pemetaan pendidikan sesuai tujuan zonasi, sistem zonasi jarak justru merupakan bentuk diskriminasi anak yang rumahnya cukup jauh (dalam satu zona) dan melanggar hak anak.

Sekiranya bertujuan pemerataan, zonasi sebaiknya diterapkan dengan menggunakan zonasi prestasi murni dan menghapus zonasi jarak. Nilai UN yang dikeluarkan oleh Kemdikbud merupakan dasar yang jauh lebih sahih daripada jarak. Bukankah anak dalam zonasi juga punya hak yang sama, tidak disekat oleh jarak? Pemerataan dalam zonasi itu berarti semua anak dalam satu zona mempunyai hak yang sama untuk diterima di SMAN dalam zonasinya. 

Fakta kelima. Jumlah anak yang mendaftar lewat jalur zonasi jarak sekitar 2-3 kali dari jumlah yang dapat diterima. Demikian juga jalur zonasi prestasi, yang mendaftar 2-3 kali yang dapat diterima. Silahkan lihat di sini dan di sini 

Ada 2/3 anak yang tidak beruntung dapat bersekolah di SMAN terdekat dalam zonasi karena rumahnya 'sedikit lebih' jauh dan nilai UN-nya < 32 (atau 39). Mereka mungkin dapat bersekolah di sekolah swasta. Namun, sebagian besar kami berpendapat bahwa sekolah swasta adalah pilihan karena sekolahnya bagus, bukan keterpaksaan. 

Mudah-mudahan Kemdikbud telah memikirkan masa depan mereka dan menunaikan hak mereka atas pendidikan. Tidak dengan menyekat mereka dari sekolah terdekatnya dengan menerapkan zonasi jarak yang bertentangan dengan prinsip keadilan, amanat konstitusi dan tujuan pendidikan itu sendiri.

Bagaimana fakta PPDB yang Anda temui dan pandangan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun