Mohon tunggu...
Eko Bagus Pratomo
Eko Bagus Pratomo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat tiki-taka

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sang Pahlawan dan Legenda Itu Akhirnya Pensiun Juga

12 September 2016   23:32 Diperbarui: 13 September 2016   23:46 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: 90min.com

Teringat dulu ketika masih bermain di SSB. Saya tak mengerti bagaimana membelokkan bola, bahkan mengontrol bola pun masih jauh dari kaki. Yang saya tahu hanya mengejar striker, merebut bola, lalu membuang bola ke depan. Bagi saya, yang penting gawang aman.

Stoper, ya stoper. Itu posisi saya di SSB.  Fisik dan kecepatan selalu menjadi senjata andalan saya dalam bermain. Anda pasti pernah menonton Liga Indonesia. Keras, kasar, tak memiliki visi jangka panjang, dan hanya mementingkan hasil akhir. Tak ada sisi hiburan di dalam sana kecuali ketika terjadi gol. Boro-boro aspek keindahan. Tak ada. Memang tak ada. Itulah karakter bermain saya ketika masih di SSB. Mengejar lawan, duel udara, tackle keras, dan ketika melihat lawan terjatuh setelah berduel, ada rasa kepuasan di sana. Terlebih ketika melihat lawan harus ditandu atau dibopong keluar lapangan gara-gara ulah saya. Rasa itu tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Puas. Sungguh puas rasanya.

Pernah di satu pertandingan Liga PERSIJA, tim saya harus berhapadan dengan tim TNI. Ketika itu saya masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Visi bermain tetap tak berubah. Yang penting gawang aman. Dalam pertandingan itu tim kami selalu ditekan. Tak banyak peluang yang bisa kami ciptakan, bahkan untuk menguasai bola pun sulit. 

Dalam situasi seperti itu memang dituntut untuk bersabar tapi apa daya, itu bukan sifat asli saya. Di pertengahan babak kedua, salah satu striker tim TNI mendapat umpan terobosan yang cukup berbahaya. Sialnya, bola itu tak sepenuhnya dalam penguasaan Sang Striker alias bola 50:50 dengan posisi saya. Tanpa berpikir panjang, saya sprint lalu menendang bola dengan bagian tali sepatu dan di saat yang bersamaan, bagian bawah sepatu saya (pul sepatu) menghantam keras angkle Sang Striker. Sang Striker pun langsung jatuh terguling-guling. Seperti biasanya, ada rasa puas di sana tapi kali ini agak berbeda. Ada sedikit kecurigaan/ketakutan bahwa saya akan dikeroyok oleh para tentara karena Striker mereka saya “makan” mentah-mentah.

Akan tetapi semua itu ternyata hanya ada dalam pikiran saya. Setelah jatuh terguling-guling, dia langsung bangun. Dikeroyok sudah takmungkin karena dia langsung bangun, begitu pikir saya. Kemungkinan yang jelas nyata di depan mata adalah Sang Striker akan menempeleng kepala saya dan memberi kata-kata yang berupa intimidasi. 

Mengingat dia seorang tentara, sudah tentu barang mudah untuk menempeleng dan mengintimidasi bocah SMP seperti saya. Tapi hal itu pun tak terjadi juga. Setelah bangun, dia hanya berjalan ke arah saya, menjabat tangan saya lalu mengambil bola, dan bersiap untuk mengeksekusi tendangan bebas. Luar biasa. Semua ketakutan dalam pikiran saya tak ada yang terjadi dan di dalam hati saya berbisik “Ini baru benar-benar tentara!”

Ya, begitulah gaya main saya ketika masih di SSB, keras dan kasar. Tapi semua itu tak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, saya harus pensiun karena cedera lutut yang saya alami. Mungkin ini karma, mengingat sudah tak terhitung berapa banyak striker yang saya “makan”. Di saat-saat seperti itu saya merasakan hal yang paling getir. 

Bermain bola sudah tak bisa, nonton bola nangis, baca koran bola nangis. Tak banyak yang bisa saya lakukan padahal hasrat bermain saya masih sangat tinggi. Setelah buka perban, saya hanya berpikir, bagaimana bisa tetap bermain bola tanpa mengandalkan fisik dan kecepatan. Minimal masih bisa bermain dengan kawan-kawan di sekolah. Yang penting saya masih bisa bermain, itu pikir saya. Lalu saya menemukan simpulan bahwa saya harus menguasai teknik.  

Di situlah saya mulai belajar bagaimana menimang bola, bagaimana cara melewati/menipu lawan tanpa kecepatan atau gerakan eksplosif. Ya, hanya di sekitar itu saja. Semua mimpi sudah sirna. Yang peting adalah bagaimana saya tetap bisa bermain bola untuk mencari teman dan sekadar  bersenang-senang.

Saat itu, ketika malam tiba, kerja saya hanya ke warnet, nonton video-video pemain yang memiliki teknik tinggi lalu mengunduhnya untuk ditonton ulang di kamar kost. Setelah ditonton ulang, di sore hari saya pergi ke kampus, bukan untuk kuliah tapi mencoba teknik-teknik yang sudah saya tonton. Setiap hari kerja saya hanya begitu sampai akhirnya ada satu pemain yang membuat saya semakin menikmati kegiatan sehari-hari saya. Dia bernama Ronaldo de Assis Moreira atau biasa dipanggil Ronaldinho yang dalam bahasa Indonesia berarti Ronaldo cilik.

Saya belum pernah lihat ada pemain bola yang mampu menimang bola sebanyak 32 kali dalam keadaan mata ditutup. Sungguh luar biasa. Saat itu dia masih bermain untuk Barcelona. Semenjak itu, saya jadi sering nonton Barcelona (Barca) main. Tidak lain, hanya karena ingin melihatnya bermain dan menunggu aksi-aksi yang akan dilakukannya di atas lapangan. Jika dia mulai mengeluarkan “sulapnya”, keesokan harinya saya langsung mencobanya. Selalu begitu walau hanya sebatas mencoba alias jarang berhasil tapi hal itu sudah berhasil membuat saya lupa bahwa lutut saya sudah tak mungkin sembuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun