Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tukang makan namun tetap langsing :D

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Seri Bencana: Tanggap-darurat Bencana, BNPB-BPBD adalah Panglimanya!

3 Maret 2013   03:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:25 6344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bencana (terutama, dalam hal ini, bencana alam untuk membedakannya dari bencana politik) seakan sudah merupakan “teman hidup” kita, warga Indonesia. Letak geografis negara kita yang berada di antara tiga lempeng utama dunia - lempeng Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik - serta dikelilingi oleh apa yang dinamakan Pacific Ring of Fire (sumber di sini), bersama-sama dengan fakta rusaknya ekosistem serta perubahan iklimsecara global, memberikan kita bencana alam dalam aneka rupa: banjir (seperti yang sering terjadi di Jakarta) dan tanah longsor (seperti tertulis di sini), angin puting beliung, gempa bumi (Sumatera Barat 2009 dan Yogyakarta 2006, sebagai contoh), maupun letusan gunung berapi (misalnya letusan Gunung Merapi dan Gunung Semeru).

Nampaknya karena sadar-status sebagai “negara bencana” ini, maka dibentuklah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 (sumber di sini). Pembentukan BNPB merupakan realisasi Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 10 ayat (2) dari UU yang sama menyatakan bahwa lembaga ini merupakan lembaga pemerintah nondepartemen setingkat menteri. Pasal 18 di dalam UU tersebut mengamanatkan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat propinsi maupun kabupaten/ kotamadya.

Masih berdasarkan UU yang sama di atas, Pasal 33 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap berikut: (1) prabencana, (2) saat tanggap-darurat, dan (3) pascabencana. Hal ini sejalan dengan fase bencana yang secara umum dapat dibagi ke dalam fase kesiap-siagaan, fase mitigasi, fase tanggap-darurat, dan fase pemulihan dan rekonstruksi (lihat, misalnya, Coppola, 2007). Fase tanggap-darurat sendiri dimulai saat telah nyata suatu bencana segera terjadi dan berakhir ketika kondisi darurat telah selesai (Coppola, 2007).

Pada fase tanggap-darurat bencana, UU yang sama Pasal 50 menjamin bahwa BNPB dan BPBD memiliki kemudahan akses yang mencakup: (1) pengerahan sumber daya manusia, (2) pengerahan peralatan, (3) pengerahan logistik, (4) imigrasi, cukai, dan karantina, (5) perizinan, (6) pengadaan barang/ jasa, (7) pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/ atau barang, (8) penyelamatan, dan (9) komando untuk memerintahkan sektor/ lembaga. Jaminan sama dalam bentuk yang lebih terjabarkan juga diberikan oleh Bab III Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Foto berikut berkenaan dengan sebagian produk hukum maupun peraturan-peraturan lain yang menjadi rujukan tulisan ini. Bagan kedua, ketiga, dan keempat di bawah ini menyajikan struktur organisasi organisasi komando tanggap-darurat bencana pada level nasional, propinsi, dan kabupaten/ kotamadya. Bagan pertama, sementara itu, menyajikan alur komando penanganan tanggap-darurat bencana secara umum.

[caption id="attachment_239765" align="aligncenter" width="432" caption="Sebagian rujukan tulisan ini yang berupa produk hukum maupun peraturan-peraturan lain (koleksi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_239766" align="aligncenter" width="447" caption="Bagan 1. Alur komando tanggap-darurat bencana (sumber: BNPBc, t.t.)"]

1362256855616076209
1362256855616076209
[/caption] [caption id="attachment_239767" align="aligncenter" width="386" caption="Bagan 2. Struktur organisasi komando tanggap-darurat bencana pada level nasional (sumber: BNPBc, t.t.)"]
13622571321809693847
13622571321809693847
[/caption] [caption id="attachment_239768" align="aligncenter" width="397" caption="Bagan 3. Struktur organisasi komando tanggap-darurat bencana pada level propinsi (sumber: BNPBc, t.t.)"]
1362257200427200651
1362257200427200651
[/caption] [caption id="attachment_239769" align="aligncenter" width="397" caption="Bagan 4. Struktur organisasi komando tanggap-darurat bencana pada level kabupaten/ kotamadya (sumber: BNPBc, t.t.)"]
1362257244915270163
1362257244915270163
[/caption]

Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa BNPB-BPBD amatlah berkuasa pada fase tanggap-darurat bencana. Pertanyaannya, efektifkah kuasa tersebut? Ataukah sebaliknya?

Sebagaimana disinggung di paragraf pertama tulisan ini, Indonesia merupakan wilayah rawan-bencana alam. Sebagian besar bencana alam yang terjadi tersebut merupakan bencana bertipe cepat-terjadi (quick-onset natural disaster), baik yang terprediksi maupun tidak (atau setidaknya sulit) diperkirakan. Pada jenis bencana seperti ini, tindakan-tindakan pada fase tanggap-darurat terlebih lagi penting dilakukan.

Di antara sekian tindakan, pemberian bantuan kepada korban (pangan-minum, sandang, obat-obatan) dan pengiriman korban luka ke fasilitas medis adalah dua di antaranya. Evakuasi korban dari lokasi bencana ke tempat aman serta pemulihan segera sarana-sarana vital adalah contoh-contoh aktivitas lainnya. Bencana gempa bumi adalah contoh tipikal quick-onset natural disaster di mana kesemua aktivitas tersebut amat diperlukan. Dan kita tahu, pemberian bantuan pangan-minum, sandang dan sebagainya adalah domain Kementerian Sosial, sementara aktivitas pengiriman korban luka ke fasilitas medis merupakan bidang garap Kementerian Kesehatan. Perihal pemulihan fasilitas jalan-raya, sementara itu, menjadi wilayah kerja Kementerian Pekerjaan Umum. Badan SAR Nasional (Basarnas), di sisi yang lain, amat diperlukan di dalam dan bertanggung jawab terhadap search and rescue korban dari titik bencana menuju ke lokasi aman terdekat.

Tanggap-darurat di dalam bencana (alam) bertipe cepat-terjadi apa pun selalu ditandai dengan pentingnya waktu tanggap. Beriringan dengan kenyataan banyaknya “pemain” di dalam fase tanggap-darurat bencana - baik yang berasal dari sektor pemerintah, sektor swasta, maupun organisasi non-profit -, koordinasi menjadi penting. Pentingnya koordinasi di dalam mengurangi jumlah korban, misalnya, dilaporkan oleh Prizzia (2008) maupun Balcik dan et al. (2010). Thevenaz dan Resodihardjo (2010), sementara itu, menyodorkan bukti bahwa buruknya koordinasi merupakan salah satu sumber kegagalan tanggap-darurat. Donini (1996, dalam van Wassenhove, 2006) menyebut bahwa komando merupakan salah satu jenis koordinasi. Ketika waktu merupakan persoalan kritis – sebagaimana terjadi pada fase tanggap-darurat -, maka komando merupakan pilihan jenis koordinasi yang paling tepat (van Wassenhove, 2006).

Begitulah. De jure, BNPB-BPBD adalah panglima di dalam upaya-upaya tanggap-darurat bencana yang terjadi di negara kita. Semestinya pula BNPB-BPBD dapat memimpin penyelenggaraan tanggap-darurat tersebut dengan efektif – karena “hak komando” yang dimilikinya -. Maka tidak salah bila orang berharap, BNPB atau BPBD tinggal memerintahkan Departemen atau Dinas Sosial untuk mengirimkan cadangan beras yang mereka simpan di gudang-gudang yang tersedia kepada korban bencana. Tidak salah pula rasanya untuk berharap BNPB ataupun BPBD mampu memaksa Departemen atau Dinas Kesehatan untuk mengirimkan tim rapid Action (RA) maupun tim rapid health assessment (RHA) secepatnya. Dengan serba terbatasnya sumberdaya, kita pantas berharap bahwa pengiriman dan penggunaan berbagai sumberdaya tersebut dapat dilakukan secara efisien dan tidak tumpang-tindih.

Beberapa contoh kasus bencana, sayangnya, cenderung mengarah kepada kesimpulan yang berkebalikan. Banjir besar yang melanda Jakarta belum lama ini adalah contoh kasus itu. Begitu pula kesimpulan saya tentang kiprah salah satu BPBD kotamadya setelah berburu data dan informasi seputar gempa Sumatera Barat 2009. Banjir Jakarta akhir 2012-awal 2013 lebih menunjukkan “superioritas” Jokowi (dan pasangannya, Basuki). Sedangkan tanggap-darurat gempa Sumatera Barat di kotamadya yang saya singgung di depan lebih diwarnai oleh, hingga derajat yang agak jauh, kiprah sektor-sektor pemerintah terkait lainnya maupun organisasi non-profit. Jarang kita dengar maupun baca tampilnya BNPB-BPBD pada kedua contoh kasus tanggap-darurat tersebut, bukan?

Ataukah karena kiprah mereka tidak terekspos media? Entahlah.

Terlepas dari betul-tidaknya sinyalemen lemahnya peranan BNPB-BPBD tersebut, Pembaca mungkin bersepakat dengan saya tentang hadirnya keempathal berikut ini.

Pertama, adanya ego sektoral di dalam penyelenggeraan tanggap-darurat bencana. Masing-masing sektor berpikir untuk menjadi yang terdepan, dan di antara mereka saling bersaing dalam hal penyelenggaraan tanggap-darurat ini. Ini, setidaknya, pernah dinyatakan langsung oleh seorang pejabat di suatu departemen teknis yang pernah saya wawancarai. Di samping itu, perlu diingat bahwa sektor-sektor terkait lahir jauh lebih dahulu daripada BNPB-BPBD. Ini potensial memunculkan perasaan “kau ini siapa?”. Dengan adanya hambatan ego ini, peluang terjalinnya kerjasama antar-departemen serta kemungkinan berbagi sumber daya menjadi sulit untuk direalisasikan.

Kedua, bencana melibatkan dana yang sangat besar. Harus diingat, bantuan yang datang dari berbagai pihak seringkali berlimpah. Ditambah dengan bantuan dari pemerintah sendiri (dalam bentuk pengadaan barang/ jasa maupun ketersediaan stok pangan dan obat-obatan, misalnya), maka secara keseluruhan jumlah bantuan bencana dapat dikatakan “amatlah seksi”. Mudah timbul dugaan, sektor terkait – yang sudah amat lama “memegang” dana besar ini - enggan melepas. Inilah setidaknya yang sempat saya dengar dari seorang pegiat kemanusiaan di sebuah lembaga.

Ketiga, tidak ada sanksi terhadap tidak ditaatinya komando BNPB-BPBD oleh sektor-sektor terkait. Otoritas pengerahan sumber daya maupun komando sebenarnya telah dimiliki oleh BNPB-BPBD pada fase tanggap-darurat bencana. Perundang-undangan menitahkan hal itu. Sayangnya, perundang-undangan yang sama tidak secara jelas menegaskan, apakah sanksinya bila sektor terkait “membangkang” terhadap komando ini.

Keempat, sebagian besar personel puncak hingga menengah di tubuh BNPB-BPBD biasanya adalah “limpahan” dari departemen-departemen teknis yang berhubungan dengan kebencanaan. Mudah diduga, Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan merupakan sumber rekrutmen utama personel BNPB-BPBD yang menangani sandang-pangan-papan maupun yang mengurusi penanganan medis korban bencana. Mereka berpindah ke BNPB-BPBD dengan status “naik pangkat”. Nah, coba kita bayangkan ketika mereka ini harus bekerja bersama dalam posisi sebagai komandan, sementara yang menjadi “bawahan sementara”nya adalah mantan atasan mereka. Kikuk dan segan, bukan?

Mudah-mudahan dugaan fenomena “panglima tanpa taji” di atas tidak benar adanya. Kalaupun benar, mudah-mudahan itu dikarenakan masih ditempuhnya learning curve oleh BNPB-BPBD – mengingat usia mereka yang memang masih “muda”.

Apa pun, mari berharap terhadap semakin membaiknya penyelenggaraan tanggap-darurat bencana, ke depan. Semoga. ***

Selly Oak, 02/03/13

Rujukan:

Barcik, Burcu, Beamon, Benita M., Krejci, Caroline C., Muramatzu, Kyle M. dan Ramirez, Magaly, 2010. Coordination in humanitarian relief chains: Practices, challenges and opportunities. International Journal of Production Economics, 126, pp. 22-34.

BNPBa, Himpunan Peraturan Perundangan tentang Penanggulangan Bencana. t.t.

BNPBb, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah. t.t.

BNPBc, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana. t.t.

Coppola, D.P., 2007. Introduction to International Disaster Management. Oxford: Butterworth-Heinemann.

Prizzia, Ross, 2008. Chapter 5: The role of coordination in disaster management, dalam Pinkowski, Jack (ed.), Disaster Management Handbook. Boca Raton: CRC Press.

Thevenaz, Celine dan Resodihardjo, Sandra L., 2010. All the best laid plans ... conditions impeding proper emergency response. International Journal of Production Economics, 126, pp. 7-21.

van Wassenhove, L.N., 2006. Blackett Memorial Lecture Humanitarian aid logistics: supply chain management in high gear. Journal of the Operational Research Society, 57, pp. 475-489.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun