Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tukang makan namun tetap langsing :D

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jokowi: Ahmad Wahib, Soekarno, Hatta, dan Cak Nur

7 Juni 2013   14:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:24 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Judul tulisan kok sampai “mencatut” nama lima orang ki piye? Belum lagi, tidak semua dari kelima nama ini hidup pada masa yang sama. Soekarno-Hatta, kita tahu lah ya, mereka sejaman. Cak Nur (betul, yang saya maksudkan adalah (alm) Nurcholish Madjid) maupun Ahmad Wahib hidup sejaman pula, meski jelas keduanya merupakan batch yang berbeda dengan batch Soekarno-Hatta. Lha terus, apa hubungan Jokowi (lagi-lagi nama inilah sentral tulisan ini; maklum ingin numpang tenar, boleh dong) dengan keempatnya? Jawabnya (tidak) singkat: Kelimanya adalah orang yang selalu bersungguh-sungguh di dalam menjalani perannya.

Namun tulisan ini bukan tentang bersungguh-sungguhnya tiap-tiap nama tersebut di dalam peranannya masing-masing. Sesuatu yang sudah jelas tidak perlu lagi untuk diperjelas, bukan?

Tentang Nurcholish Madjid, banyak orang yang sudah tahu. “Cap” Cak Nur sebagai pendamba terwujudnya sebuah Indonesia yang adil, demokratis-terbuka, dan bertelekan kesetaraan di antara semua warganya sudah bukan lagi merupakan rahasia. Ia pernah menyulut kontroversi dengan jargon “Islam yes, partai Islam no”. Ia dikenal pula dengan analogi “memompa ban kempes” sewaktu menjelaskan dukungannya kepada PPP. Di sebuah organisasi mahasiswa, ia semasa dengan Akbar Tanjung, Mar’ie Muhammad, maupun Ridwan Saidi. Arek Jombang ini merupakan satu-satunya anggota organisasi tersebut yang terpilih dua kali sebagai Ketua Umum.

Hingga suatu era, Pancasila pernah menjadi sebuah “kata maha sakti” yang orang bahkan takut untuk membicarakan dan memertanyakannya. Saat itulah Cak Nur melontarkan pendapat bahwa “Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka”; dengan kata lain, sebuah ideologi yang tidak tertutup terhadap adanya penafsiran-penafsiran baru. Sebuah pendapat yang, ajaibnya, diamini oleh si Jenderal Besar yang selalu menyunggingkan senyum namun memiliki hobi menggebuk orang itu.

Lalu siapakah Ahmad Wahib? Ia adalah mantan aktivis dan (belakangan) juga wartawan Tempo yang dikenal pemikiran-pemikirannya lewat catatan harian yang dibukukan, Pergolakan Pemikiran Islam. Hidup sejaman dengan (alm) Cak Nur, (alm) Cak Ahmad Wahib merupakan jebolan UGM kelahiran Sampang, Madura. Ahmad Wahib juga adalah aktivis dan salah satu anggota organisasi mahasiswa di mana Cak Nur pernah menjadi Ketua Umumnya. Link berikut, mudah-mudahan legal, memberikan akses kepada buku Ahmad Wahib dimaksud.

Tahun 1973, sebuah kecelakaan menimpa Ahmad Wahib. Ia meninggal karenanya.

Apakah pentingnya berbincang mengenai Ahmad Wahib? Mungkin tidak banyak orang tahu, bahwa pemikiran-pemikiran aktivis muda ini sangat mewarnai organisasi di mana ia aktif. Pemikiran-pemikirannya banyak menunai kontroversi, bahkan sebelum seorang Nurcholish Madjid mulai menimbulkan “gelombang polemik” di kalangan umat Islam dengan berbagai lontaran gagasannya. Hal ini terekam secara gamblang di dalam Pergolakan Pemikiran Islam.

Banyak aspek yang dibahas di dalam Pergolakan Pemikiran Islam tersebut. Salah satu dari sekian tulisan yang almarhum buat adalah mengenai gaya kepemimpinan Soekarno maupun M. Hatta. Ia menyitir Herbert Feith dalam hal itu.

Menurut almarhum dan dengan dengan menggunakan “mata” seorang Herbert Feith, Soekarno dapatlah dikatakan sebagai seorang solidarity maker. Dengan kata-kata dan pidato penuh semangat, Soekarno mampu mengarahkan dan memersatukan massa dengan beragam latar belakang maupun kepentingan kepada sebuah tujuan tertentu. Soekarno amatlah piawai mengagitasi massa, dan karena itu massa bergerak ke arah yang ia tunjukkan. Kasus perseteruan dengan Malaysia serta jargon yang terlontar bahwa “kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kesejahteraan” adalah sedikit contoh dari kemampuan seorang Soekarno di dalam membangkitkan solidaritas bersama ini.

M. Hatta, sementara itu, dikenal dan dikenang luas sebagai seorang yang tekun. Gaya maupun pembawaannya sangat bertolak belakang dengan Soekarno. Bila Soekarno dikenal dengan kemampuan untuk mengajak dan mengarahkan massa dengan berbekal gagasan-gagasan besar ataupun rangkaian kata yang menggugah sekaligus “garang”, maka M. Hatta adalah seorang yang sangat memedulikan detail serta tahapan-tahapan pencapaian suatu gagasan yang jelas. Berbeda dengan Soekarno yang lebih kental dengan “apa” dan “mengapa”, M. Hatta adalah seorang pemimpin yang piawai betul mengelola, menjalankan, hal-ihwal “bagaimana”. Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib – masih menyitir Herbert Feith - menyebut Hatta sebagai seorang administrator ulung.

Jokowi, suka tidak suka, adalah salah satu alternatif pemimpin nasional Indonesia terkini. Berbagai survei mendukung premis ini. Bila demikian halnya, maka tentulah ia juga memiliki sebuah gaya kepemimpinan. Dan penulis berpendapat, gaya kepemimpinan seorang Jokowi adalah perpaduan antara gaya Soekarno dan Hatta di atas. Dengan kata lain, ia adalah seorang administrator sekaligus solidarity maker.

Banyak yang sudah mengetahui Jokowi sebagai pribadi yang sangat memerhatikan detail. Ia seorang yang selalu menekankan pentingnya kejelasan dan perencanaan. Seorang Jokowi juga selalu menekankan pentingnya eksekusi sebuah rencana beserta pengawasan dan evaluasinya. Tidak hanya sekedar beretorika, “ibadahnya” - baik sebagai pengusaha, walikota Surakarta, serta Gubernur DKI Jakarta sekarang ini - menyodorkan bukti tak terbantahkan tentang hal tersebut. Tentu bukanlah tanpa maksud bila majalah The Economist memberinya sebutan "Mr. Fix-it”. “Manisnya” relasi Jokowi – FX Hadi Rudyatmo serta Jokowi-Basuki TP (setidaknya hingga saat ini) memberikan bukti lain betapa wong Sumber ini memiliki kemampuan kerjasama tim yang tidak sembarangan. Ia, dengan kata lain, adalah seorang manajer, seorang administrator.

Banyak yang sudah mafhum perihal karakter yang menonjol dari seorang Jokowi. Sudah banyak pula diulas mengenai pendekatan yang ia gunakan di dalam memimpin ketika “bersentuhan” dengan orang. Bagaimana ia begitu humanis, nguwongke, sekaligus seseorang yang mau mendengar dan memberikan apresiasi tinggi terhadap berbagi gagasan, keinginan, hingga keluh-kesah. Ia juga seseorang dengan semangat egaliter yang sangat kental dan sering, di berbagai kesempatan, berucap, “Warga adalah gudangnya gagasan dan pemikiran”. Dengan bekal-bekal itulah, ia telah berproses dan menjelma menjadi seorang solidarity maker. Keberhasilannya menata Surakarta hingga kemampuannya melakukan persuasi kepada warga Jakarta (kasus demo supir angkutan, relokasi warga waduk Pluit, pemindahan warga ke rumah-rumah susun) dengan relatif sedikit gejolak adalah bukti-bukti tak terbantahkan. Bekal yang ia miliki untuk membentuk solidaritas bersama semakin lengkap dengan sikap dan gaya hidupnya yang jauh dari kesan “wah” meski ia amat mampu melakukannya. Kemampuannya menjadi seorang solidarity maker memang dibentuk oleh faktor-faktor yang tidak sama persis dengan Bung Karno. Namun tetap, dengan langgam dan caranya sendiri, Jokowi adalah adalah seseorang dengan kemampuan menggerakkan massa.

Lalu di mana letak Cak Nur dalam hal ini? Di atas sudah saya sebutkan perihal pendapat almarhum Cak Nur mengenai Pancasila sebagai ideologi terbuka. Di sinilah letak titik-temunya. Bahwa menurut saya, seorang Jokowi adalah salah satu bentuk tafsir terbuka terhadap Pancasila. Sebuah tafsir hidup yang, menurut saya, sangat relevan untuk disimak dan diikuti karena berada dalam konteks kekinian. Jokowi adalah sebuah diri yang padanya terdapat kombinasi yang aneh. Ia seorang marhaen – baik ditilik dari keberpihakannya kepada kalangan biasa maupun asal-usulnya yang memang bukan kalangan “wah” – yang tidak tabu berbicara mengenai maupun menekankan pentingnya modal, efisiensi, maupun produktivitas. Ia seseorang yang memiliki kecintaan yang pekat terhadap bangsanya sendiri sekaligus pribadi dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Jokowi bersedia mendengar dan duduk bersama memecahkan sebuah persoalan serta berulang-ulang menekankan pentingnya seorang pemimpin menjadi “pelayan warga”.

Yang belum terjadi, barangkali, adalah terumuskannya tafsir Pancasila a la Jokowi ini dalam bentuk yang runtut sekaligus dapat dipelajari. Sebuah gambar besar, world view, yang bertitik tolak dari Pancasila menurut versinya sendiri, yang dengan itu orang kemudian manggut-manggut, “O, jadi begitu ya seorang Jokowi.”

Dengan gambar besar itu, barangkali, kritik ataupun pendapat bahwa Jokowi nihil dengan gagasan-gagasan besar – sebagaimana di antaranya dilontarkan oleh Rachmawati Soekarnoputri – mendapatkan jawaban. Dengan begitu, semoga, semakin pantas Jokowi menyandang predikat sebagai salah satu alternatif pemimpin berlanggam solidarity maker-administrator.

***** oooOooo *****

SO-JK, 07/06/13

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun